Editorial | Oleh: Redaksi SadiWartaNews

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Di tengah gencarnya pembangunan desa sebagai wujud komitmen negara dalam mewujudkan keadilan sosial, justru muncul ironi yang tak bisa kita abaikan: suara warga desa, yang seharusnya menjadi pusat dalam setiap kebijakan pembangunan, semakin terpinggirkan.

Alih-alih menjadi subjek aktif, warga kerap kali hanya dijadikan objek penerima program. Forum Musyawarah Desa yang idealnya menjadi ruang partisipatif justru kerap dilangsungkan sebagai formalitas belaka tanpa ruang kritis, tanpa daya tawar rakyat. Di banyak tempat, keputusan diambil oleh segelintir elit desa, dibungkus rapat dalam narasi “demi pembangunan” yang tak selalu menjawab kebutuhan nyata masyarakat.

Fenomena ini bukan sekadar soal teknis pelaksanaan pembangunan, melainkan krisis cara berpikir tentang pemberdayaan itu sendiri. Pemberdayaan bukan berarti “memberi” dari atas, tapi membuka ruang seluas-luasnya agar warga bisa menyuarakan kepentingannya, mengelola potensinya, dan menentukan nasibnya.

Namun yang terjadi, aspirasi warga sering dibungkam dengan dalih keterbatasan anggaran, kurangnya pemahaman teknis, atau dianggap menghambat proses. Kritik dianggap ancaman. Keterlibatan masyarakat dibatasi pada kerja bakti atau tanda tangan daftar hadir. Ketika warga bersuara misalnya, menolak proyek yang merusak lahan pertanian, mempertanyakan pengelolaan dana desa, atau meminta transparansi dalam distribusi bantuan, mereka sering mendapat stigma sebagai “pengganggu”, “provokator”, bahkan tak jarang mendapat tekanan sosial dan politik.

Jika tren ini dibiarkan, maka pembangunan desa hanya akan menghasilkan infrastruktur tanpa jiwa, program tanpa keberpihakan, dan demokrasi tanpa partisipasi.

Editorial ini mengajak kita semua, pemangku kebijakan, akademisi, aktivis, dan terutama media untuk kembali menjaga nalar pemberdayaan. Mendengarkan warga desa bukan sekadar etika demokrasi, tapi kunci utama agar pembangunan benar-benar berakar dan tumbuh dari bawah.

Desa adalah pondasi bangsa. Jika pondasi ini rapuh karena diabaikannya suara-suara kecil, maka seluruh bangunan kebangsaan kita pun akan goyah.