Editorial | Oleh: Redaksi SadiWartaNews

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Pembangunan telah menjadi mantra yang akrab di telinga kita. Jalan dibuka, jembatan dibangun, dan kantor desa berdiri megah. Di atas kertas, semua tampak membanggakan. Namun pertanyaannya: apakah pembangunan itu benar-benar menyentuh denyut nadi kehidupan warga desa?

Sering kali, pembangunan desa diklaim sukses hanya karena indikator fisik yang terpenuhi. Padahal, di balik deretan grafik dan laporan pertanggungjawaban, masih banyak warga desa yang hidup dalam ketidakpastian: petani yang kesulitan pupuk, anak-anak yang harus menempuh jalan rusak menuju sekolah, hingga ibu-ibu yang tak pernah diajak bicara soal prioritas pembangunan.

Inilah wajah pembangunan yang mengaburkan nilai. Ketika desa hanya dijadikan objek statistik dan formalitas program, tanpa menyentuh sisi kemanusiaan, kebudayaan, dan keberlanjutan hidup warganya.

Lebih ironis lagi, suara warga sering kali tak diundang dalam proses penyusunan rencana pembangunan. Musyawarah desa berubah jadi ajang seremonial. Aspirasi diseleksi, bahkan dibungkam. Kritik dianggap gangguan. Warga tidak lagi merasa memiliki ruang untuk menentukan arah desanya sendiri.

Padahal, makna pembangunan sejati bukan semata soal fisik, melainkan tentang pemanusiaan, mengangkat harkat hidup warga, membuka ruang partisipasi, serta merawat nilai dan jati diri desa.

Editorial ini menyerukan kepada semua pihak, terutama pengambil kebijakan dan pengelola dana desa, untuk berhenti menjadikan desa sebagai sekadar angka dalam laporan. Sudah saatnya kita kembali menakar pembangunan dengan ukuran yang lebih manusiawi: sejauh mana ia memberi arti bagi hidup warga, bukan sekadar memenuhi target administratif.

Jangan biarkan desa kehilangan rohnya. Jangan biarkan pembangunan meminggirkan nilai-nilai yang telah diwariskan secara turun-temurun. Karena jika desa mati dalam diam, kita semua akan merasakannya kelak saat akar bangsa ini mulai rapuh tanpa kita sadari.