SadiWartaNews.com – Jakarta, sebuah kota yang terus berevolusi, telah mengalami berbagai transformasi sepanjang sejarahnya, dari Sunda Kelapa, Jayakarta, hingga Batavia, dan akhirnya Jakarta. Evolusi ini tidak hanya mencerminkan perubahan zaman, tetapi juga dinamika kekuasaan dan visi pembangunan yang berbeda.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Sunda Kelapa: Pelabuhan Strategis yang Mengundang Bangsa Asing

Pada awalnya, Sunda Kelapa muncul sebagai pusat perdagangan maritim yang ramai di Nusantara sejak abad ke-12, menarik pedagang dan penjelajah asing berkat posisinya yang strategis. Kedatangan Portugis pada abad ke-15, dengan izin dari Kerajaan Pajajaran yang terdesak oleh ekspansi kerajaan Islam, menandai pembangunan benteng di Sunda Kelapa. Namun, dominasi Portugis tidak berlangsung lama. Pada 22 Juni 1527, pasukan Fatahillah berhasil mengusir Portugis dan mendirikan Jayakarta di lokasi bekas benteng tersebut. Tanggal kemenangan ini diperingati sebagai hari ulang tahun Jakarta. Jayakarta digambarkan sebagai kota kerajaan Islam yang khas, dengan keraton, masjid, alun-alun, dan pasar sebagai pusatnya, dikelilingi oleh permukiman penduduk.

Batavia: Kota Benteng VOC dengan Konsep Eropa

Perubahan signifikan terjadi ketika VOC di bawah JP Coen berhasil mengalahkan Jayakarta dan mendirikan Batavia pada tahun 1619. Batavia dibangun dengan konsep kota benteng yang mengadopsi arsitektur Eropa, lengkap dengan kanal-kanal dan jalan-jalan yang tertata rapi, mirip Amsterdam atau Venesia. Kota ini menjadi pusat perdagangan yang makmur dan multikultural, bahkan dijuluki “Ratu dari Timur” pada abad ke-17. Namun, visi pembangunan Belanda sangat eksploitatif, menjadikan Batavia hanya sebagai pusat pengumpulan dan ekspor bahan mentah, menghambat perkembangan industri pengolahan.

Perluasan ke Selatan: Dari Omme Landen ke Weltevreden

Seiring waktu, kepadatan dan masalah kesehatan di kota benteng Batavia mendorong para pejabat VOC dan pengusaha kaya untuk membangun vila-vila peristirahatan di luar kota, yang dikenal sebagai Omme Landen. Wilayah-wilayah seperti Molenvliet (kini Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk) mulai berkembang. Pada akhir abad ke-18, setelah bubarnya VOC dan beralihnya kekuasaan ke Kerajaan Belanda, pembangunan kota Batavia meluas ke selatan, terutama di wilayah Weltevreden (sekitar Gambir). Gubernur Jenderal Willem Daendels (1808–1811) berperan penting dalam pembangunan ini, termasuk pembangunan Istana Putih (kini Kementerian Keuangan) di Lapangan Banteng. Konsep arsitektur mulai mengadopsi pola kota-kota Jawa dengan lapangan besar, tempat ibadah, dan istana.

Penggabungan Arsitektur Barok dan Kampung Pribumi

Pada abad ke-19, pembangunan Batavia terus berlanjut dengan konsep penggabungan bangunan mewah bergaya Barok dengan kampung-kampung pribumi. Fasilitas urban seperti jalan besar, taman, dan lapangan dibangun, menjadikan Weltevreden sebagai “Batavia Baru.” Bangunan ikonik seperti Istana Negara (dahulu Istana Rijswijk) dan GPIB Immanuel (dahulu Gereja Willem) dibangun pada periode ini. Kawasan-kawasan baru dengan nama “Kebon” seperti Kebon Sirih, Kebon Kacang, dan Kebon Jeruk muncul, mencerminkan bekas perkampungan yang terintegrasi dengan perkembangan kota.

Modernisasi Awal Abad ke-20 dan Kesenjangan Perumahan

Memasuki abad ke-20, terutama pada tahun 1920-an, Batavia terus meluas dengan pembukaan kawasan-kawasan perumahan modern seperti Menteng dan Gondangdia. Namun, pembangunan ini lebih berfokus pada penduduk Eropa, sementara penduduk pribumi hanya mendapatkan program perbaikan kampung yang intensif baru pada tahun 1925.

Era Soekarno: Kota sebagai Simbol Nasionalisme

Pasca-kemerdekaan, terutama setelah tahun 1940-an hingga 1950-an, Jakarta mengalami stagnasi pembangunan akibat revolusi fisik. Baru pada awal 1960-an, Presiden Soekarno menggalakkan pembangunan besar-besaran dengan visi “mercusuar” untuk mengubah citra Jakarta dari kota kolonial menjadi kota milik bangsa merdeka. Pembangunan Monas, Tugu Pancoran, dan Patung Pembebasan Irian Barat menjadi simbol nasionalisme. Soekarno juga mengubah nama-nama jalan kolonial menjadi nama pahlawan Indonesia, seperti Jalan Teuku Umar (dahulu Falckweg). Untuk menyambut Asian Games IV tahun 1962, dibangunlah Gelora Bung Karno, Jembatan Semanggi, dan Jalan Sudirman-Thamrin, menghubungkan pusat kota dengan Kebayoran Baru.

Orde Baru dan Program Perbaikan Kampung Ali Sadikin

Pada masa Orde Baru, terutama di bawah Gubernur Ali Sadikin (1967–1977), pembangunan Jakarta berlangsung masif dan terkonsep. Ali Sadikin dikenal sebagai pelopor program perbaikan kampung (Kampung Improvement Program) yang berfokus pada pembangunan manusiawi dan beradab. Namun, setelah era Ali Sadikin, laju pembangunan Jakarta dinilai kurang terkonsep dan sering dikendalikan oleh dinamika kapitalisme. Banyak daerah hijau dan resapan air diubah menjadi kawasan permukiman baru seperti Kemang dan Pondok Indah, bahkan rawa-rawa di Jakarta Barat direklamasi. Motif ekonomi yang dominan juga memicu pembangunan hotel, mal, dan pusat perbelanjaan yang masif, seringkali berdekatan dengan permukiman miskin. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang untuk siapa pembangunan Jakarta sebenarnya dilakukan.

Sejarah panjang Jakarta menunjukkan bahwa kota ini sering dibangun untuk memenuhi impian para penguasa, baik politik maupun ekonomi, yang terkadang mengabaikan kebutuhan sebagian besar penduduknya. Padahal, Jakarta adalah kota yang terbentuk dari integrasi dan perpaduan berbagai perbedaan, yang seharusnya menjadi rumah bagi semua kelompok dan golongan.

Sorotan

  • Evolusi Nama dan Identitas Kota: Jakarta telah mengalami perubahan nama dan identitas yang signifikan, dari Sunda Kelapa, Jayakarta, hingga Batavia, mencerminkan pergantian kekuasaan dan budaya.
  • Pusat Perdagangan Strategis: Sejak awal, posisi geografis Jakarta sebagai kota pelabuhan strategis telah menjadikannya pusat perdagangan penting di Asia Timur, menarik berbagai bangsa.
  • Transisi Kekuasaan dan Pembangunan: Setiap pergantian kekuasaan, dari Kerajaan Pajajaran, Portugis, Kesultanan Demak, hingga VOC dan pemerintah kolonial Belanda, membawa serta visi dan model pembangunan kota yang berbeda.
  • Pengaruh Arsitektur Eropa dan Jawa: Pembangunan kota Batavia oleh VOC mengadopsi model kota-kota Eropa dengan kanal dan tata ruang teratur, sementara pada masa pemerintahan Belanda kemudian, konsep arsitektur mulai mengadopsi pola kota-kota Jawa.
  • Pergeseran Fokus Pembangunan: Awalnya berfokus pada eksploitasi sumber daya dan kepentingan Eropa, pembangunan kota kemudian bergeser ke arah perluasan permukiman modern dan fasilitas urban, meskipun masih ada kesenjangan antara penduduk Eropa dan pribumi.
  • Visi Nasionalisme Pasca-Kemerdekaan: Era Soekarno menandai pembangunan Jakarta sebagai simbol kebanggaan bangsa merdeka dengan monumen-monumen nasional dan pengubahan nama-nama jalan kolonial.
  • Dilema Pembangunan dan Kapitalisme: Setelah era Ali Sadikin, pembangunan Jakarta cenderung kurang terkonsep dan didominasi motif ekonomi, mengorbankan ruang hijau dan menciptakan kesenjangan sosial.

Wawasan Utama

  • Transformasi Geopolitik dan Urban: Sejarah Jakarta adalah cerminan langsung dari perubahan geopolitik di Nusantara. Dari Sunda Kelapa yang merupakan pelabuhan penting di bawah Kerajaan Hindu Sunda Pajajaran, menjadi Jayakarta sebagai pusat kekuasaan Islam, lalu Batavia yang merupakan benteng dan pusat perdagangan VOC, hingga akhirnya Jakarta sebagai ibu kota negara merdeka. Setiap fase ini tidak hanya mengubah nama, tetapi juga tata kota, arsitektur, dan fungsi sosial-ekonomi kota. Misalnya, pembangunan kanal-kanal di Batavia oleh VOC adalah upaya untuk mereplikasi kota-kota di Belanda, menunjukkan ambisi kolonial untuk menciptakan “Amsterdam di Timur.”
  • Dinamika Kekuasaan dan Perencanaan Kota: Visi pembangunan kota selalu terkait erat dengan kepentingan penguasa. Portugis membangun benteng untuk mengamankan perdagangan, Fatahillah mendirikan Jayakarta sebagai simbol kemenangan Islam, VOC membangun Batavia untuk kepentingan eksploitasi ekonomi, dan Soekarno membangun Jakarta sebagai simbol nasionalisme. Perencanaan kota yang ideal seringkali terbentur dengan realitas politik dan ekonomi, seperti terlihat dari fokus pembangunan Belanda yang hanya melayani kepentingan Eropa, atau pembangunan pasca-Ali Sadikin yang didominasi oleh motif kapitalisme.
  • Integrasi dan Kesenjangan Sosial: Jakarta selalu menjadi kota multikultural, menarik berbagai etnis dan bangsa. Namun, sejarah juga menunjukkan adanya kesenjangan dalam pembangunan dan akses terhadap fasilitas kota. Pada masa kolonial, pembangunan perumahan modern lebih ditujukan untuk orang Eropa, sementara penduduk pribumi hanya mendapatkan program perbaikan kampung. Bahkan di era modern, pembangunan yang didorong oleh properti seringkali mengabaikan ruang hijau dan permukiman kumuh, memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Ini menimbulkan pertanyaan fundamental tentang inklusivitas pembangunan kota.
  • Arsitektur sebagai Narasi Sejarah: Bangunan-bangunan di Jakarta bukan sekadar struktur fisik, melainkan narasi hidup dari sejarah kota. Dari sisa-sisa Kota Lama yang mencerminkan kejayaan VOC, hingga Istana Negara dan GPIB Immanuel yang merupakan peninggalan masa kolonial Belanda, serta Monas dan Gelora Bung Karno yang melambangkan semangat kemerdekaan. Perubahan arsitektur dari gaya Eropa ke perpaduan dengan konsep Jawa, dan kemudian ke modernisme, mencerminkan pergeseran identitas dan aspirasi kota.
  • Tantangan Pembangunan Berkelanjutan: Pembangunan Jakarta pasca-Ali Sadikin, yang cenderung tidak terkonsep dan didominasi oleh kepentingan ekonomi, telah menimbulkan masalah serius seperti hilangnya daerah hijau dan resapan air. Reklamasi rawa-rawa untuk permukiman baru dan pembangunan mal yang masif tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial, menunjukkan kurangnya perencanaan kota yang holistik dan berkelanjutan. Ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, pelestarian lingkungan, dan keadilan sosial dalam pembangunan urban.
  • Visi “Kota untuk Rakyat”: Meskipun sejarah Jakarta seringkali menunjukkan pembangunan yang didorong oleh kepentingan penguasa, ada momen-momen di mana visi “kota untuk rakyat” muncul, seperti pada masa Ali Sadikin dengan program perbaikan kampungnya. Ini menekankan bahwa kota yang ideal adalah kota yang memanusiakan penduduknya, yang terbentuk dari integrasi dan perpaduan berbagai perbedaan, bukan hanya untuk memenuhi impian segelintir elit.
  • Peran Infrastruktur dalam Konektivitas: Pembangunan infrastruktur seperti jalan raya Sudirman dan Thamrin, serta Jembatan Semanggi, memiliki peran krusial dalam menghubungkan berbagai kawasan kota dan memfasilitasi pertumbuhan urban. Ini menunjukkan bagaimana investasi dalam infrastruktur dapat membentuk pola permukiman dan aktivitas ekonomi, meskipun terkadang juga mempercepat urbanisasi yang tidak terkendali.