SandiWartaNews.com – Jakarta, 27 Juni 2025 — Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengeluarkan putusan penting yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah. Putusan ini diambil setelah mempertimbangkan kompleksitas pemilu serentak yang selama ini diterapkan, yang dinilai membebani pemilih dan mengurangi kualitas partisipasi demokrasi.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Dengan keputusan ini, pemilihan presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI akan dilakukan serentak secara nasional, sementara pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur, bupati, dan walikota akan dilakukan dalam pemilu serentak daerah, paling cepat dua tahun dan paling lambat dua setengah tahun setelah pemilu nasional.

Mengapa Dipisah? Kompleksitas Pemilu Serentak Jadi Alasan Utama

Putusan MK ini menanggapi realitas pemilu serentak sebelumnya yang menggabungkan tujuh jenis pemilihan dalam satu waktu. Dalam praktiknya, sistem ini menimbulkan kejenuhan, kebingungan, dan menurunkan kualitas fokus pemilih.

Titi Anggraini, pengajar dan peneliti pemilu dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), menyambut baik putusan ini. Menurutnya, pemisahan akan menyederhanakan surat suara, meningkatkan konsentrasi pemilih, serta memberikan ruang yang lebih adil bagi isu-isu lokal untuk tampil dominan dalam pemilu daerah.

“Putusan MK ini adalah kabar baik. Ini akan menjadi penataan yang lebih demokratis dan berkualitas,” ujar Titi dalam keterangannya.

Apa Dampaknya? Masa Jabatan, Sosialisasi, dan Revisi UU Pemilu

Dampak langsung dari pemisahan ini adalah perlunya penyesuaian kebijakan, khususnya dalam revisi Undang-Undang Pemilu. Jika pemilu legislatif daerah dilakukan dua tahun setelah pemilu nasional, maka masa jabatan anggota DPRD hasil pemilu 2024 perlu diperpanjang hingga 2031. Begitu pula kepala daerah yang dilantik pada 2025 dan masa jabatannya berakhir pada 2030, harus ada skema pengisian jabatan di masa jeda sebelum pemilu kepala daerah berikutnya digelar.

Titi menegaskan, “Ini perlu dijawab dengan revisi undang-undang yang komprehensif dan tepat waktu, agar tidak terjadi kebingungan hukum.”

Ia juga menyoroti pentingnya sosialisasi publik yang masif agar masyarakat memahami perubahan sistem pemilu ini dan tidak salah tafsir.

Bagaimana dengan Penyelenggara dan Partai Politik?

Putusan ini juga menuntut penyesuaian masa jabatan penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu. Kesenjangan masa jabatan yang tidak serentak dapat menghambat kesiapan teknis pelaksanaan pemilu daerah. Titi menyarankan adanya harmonisasi dalam masa tugas penyelenggara pemilu untuk memastikan integritas dan kesiapan sejak awal.

Bagi partai politik, pemisahan pemilu menjadi peluang emas untuk memperkuat konsolidasi internal. Mereka memiliki waktu jeda untuk melakukan kaderisasi, rekrutmen calon, dan membangun komunikasi politik yang lebih terfokus untuk masing-masing level pemilu.

“Partai akan terus aktif lima tahun penuh, tidak hanya habis-habisan di awal lalu istirahat. Ini mendorong kaderisasi berkelanjutan,” tambah Titi.

Apakah Bisa Mencegah Politik Transaksional?

Titi menilai bahwa kerangka yang disusun MK bisa menjadi dasar untuk menekan politik transaksional, tetapi pelaksanaannya bergantung pada banyak faktor, antara lain:

  • Independensi dan profesionalisme penyelenggara pemilu.
  • Budaya internal partai politik.
  • Penegakan hukum yang efektif dan konsisten.

“MK hanya membuka pintu. Keberhasilan terletak di tangan pembuat undang-undang dan seluruh aktor demokrasi,” tegasnya.

Rekomendasi Transisi: Revisi UU Segera, Libatkan Publik, Kawal Proses

Untuk menjamin transisi yang adil dan efektif, Titi Anggraini memberikan beberapa rekomendasi utama:

  1. Percepat Revisi UU Pemilu: Hindari pembahasan tertutup atau ‘injury time’ menjelang pemilu.
  2. Libatkan Semua Pihak: Masyarakat sipil, akademisi, penyelenggara, dan media harus dilibatkan.
  3. Siapkan Partai Politik: Partai harus melihat ini sebagai peluang penguatan, bukan tantangan.
  4. Kawal MK dan Putusannya: DPR harus merespons secara konstruktif, bukan melemahkan putusan MK.

Jalan Menuju Demokrasi yang Lebih Matang

Putusan MK Nomor 135 ini dianggap sebagai momentum penting dalam evolusi sistem pemilu Indonesia. Jika ditindaklanjuti dengan regulasi yang baik dan pelaksanaan yang bersih, pemisahan pemilu dapat menjadi tonggak demokrasi yang lebih sehat, terfokus, dan representatif bagi masyarakat maupun partai politik.