SandiWartaNews.com – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mulai menunjukkan arah dan pendekatan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya, Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam enam bulan pertama masa kepemimpinannya, sejumlah kebijakan strategis di era Jokowi mengalami revisi atau bahkan pencabutan, baik melalui Peraturan Presiden, Mahkamah Agung (MA), maupun Mahkamah Konstitusi (MK).

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Perubahan ini dianggap sebagai sinyal kuat bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran tidak sekadar melanjutkan, tetapi juga mengevaluasi dan mengoreksi kebijakan yang dianggap tidak lagi relevan atau menimbulkan kontroversi di publik.

Pembubaran Satgas Saber Pungli

Presiden Prabowo secara resmi mencabut Perpres Nomor 87 Tahun 2016 tentang pembentukan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) yang dibentuk oleh Jokowi. Pembubaran tersebut tertuang dalam Perpres Nomor 49 Tahun 2025.

Pemerintah menilai Satgas Saber Pungli sudah tidak lagi efektif dan pendekatan pemberantasan pungutan liar perlu diarahkan melalui penguatan kelembagaan permanen seperti Polri dan Kementerian/Lembaga terkait, serta digitalisasi layanan publik.

Pembatalan Izin Ekspor Pasir Laut oleh Mahkamah Agung

Salah satu kebijakan yang menuai sorotan publik pada akhir masa pemerintahan Jokowi adalah PP Nomor 26 Tahun 2023, yang membuka kembali ekspor pasir laut setelah dilarang selama lebih dari dua dekade. Namun, pada Mei 2025, Mahkamah Agung membatalkan pasal-pasal krusial dalam PP tersebut, dengan pertimbangan hukum dan lingkungan.

MA menilai aturan tersebut bertentangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, khususnya Pasal 56 yang mengharuskan negara mencegah dan mengendalikan kerusakan lingkungan laut.

Putusan ini secara tidak langsung membatalkan kebijakan pro-ekspor pasir laut yang dikritik oleh akademisi dan aktivis lingkungan sebagai berpotensi merusak ekosistem pesisir.

Penghapusan Skema Pemilu Serentak oleh Mahkamah Konstitusi

Salah satu warisan kebijakan besar era Jokowi adalah penyelenggaraan pemilu serentak untuk memilih Presiden, DPR, DPD, DPRD, dan kepala daerah sekaligus. Namun, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mengakhiri skema tersebut mulai tahun 2029.

MK menyatakan bahwa pemilu serentak menyebabkan kejenuhan pemilih, mengurangi kualitas pilihan, dan menyebabkan fokus publik terlalu terpusat pada pemilihan Presiden, mengabaikan calon legislatif dan kepala daerah.

Dalam putusan tersebut, MK memutuskan bahwa pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) akan digelar lebih dulu, disusul pemilu daerah (DPRD dan kepala daerah) dalam jangka waktu 2–2,5 tahun setelah pelantikan Presiden dan DPR.

Arah Baru Pemerintahan: Koreksi atau Kontinuitas Selektif?

Serangkaian perubahan ini menunjukkan bahwa pemerintahan Presiden Prabowo tidak menutup kemungkinan untuk melanjutkan program Jokowi, namun dengan pendekatan yang lebih selektif dan korektif. Beberapa pengamat menilai bahwa kebijakan-kebijakan yang bersifat populis namun kontroversial pada masa Jokowi kini sedang dievaluasi ulang oleh pemerintahan baru dengan standar efektivitas, keberlanjutan, dan kepatuhan hukum yang lebih ketat.