Editorial | Oleh: Redaksi SadiWartaNews

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Redaksi – Pembangunan desa telah menjadi fokus utama dalam agenda pembangunan nasional, terutama sejak digulirkannya Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Undang-undang ini menjanjikan otonomi dan kemandirian bagi desa dalam mengelola potensi dan anggarannya. Namun, setelah satu dekade berjalan, publik patut bertanya: apakah kemandirian itu benar-benar nyata, atau hanya sebatas slogan yang indah di atas kertas?

Di banyak daerah, geliat pembangunan fisik memang terlihat. Jalan desa diperbaiki, kantor pemerintahan direnovasi, fasilitas umum dibangun. Namun, substansi dari kemandirian desa tidak cukup diukur melalui pembangunan infrastruktur semata. Kemandirian seharusnya mencerminkan kemampuan desa dalam merancang masa depannya sendiri, secara ekonomi, sosial, budaya, dan tata kelola.

Sayangnya, sejumlah temuan di lapangan menunjukkan adanya ketimpangan dalam pelaksanaan program desa. Dana desa yang besar kadang tidak disertai dengan kapasitas kelembagaan yang memadai. Tidak sedikit desa yang masih tergantung pada arahan eksternal atau bahkan dikendalikan oleh kepentingan politik di luar desa itu sendiri.

Lebih dari itu, partisipasi warga dalam perencanaan dan pengambilan keputusan seringkali bersifat formalitas. Musyawarah hanya berlangsung di atas meja, bukan dari aspirasi yang lahir dari bawah. Dalam banyak kasus, warga bahkan tidak tahu apa yang sedang direncanakan, apalagi ikut menentukan prioritas pembangunan.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah desa benar-benar diberi ruang untuk mandiri? Ataukah konsep kemandirian justru terjebak dalam kerangka program top-down yang dibungkus dengan retorika partisipatif?

Redaksi berpandangan bahwa pembangunan desa yang berkelanjutan hanya bisa tercapai bila ditopang oleh nilai-nilai transparansi, partisipasi yang otentik, serta penguatan kapasitas lokal. Desa harus menjadi subjek, bukan objek pembangunan. Kemandirian tidak bisa dipaksakan dari luar, ia tumbuh dari dalam dari, semangat warga, dari keberanian mengambil keputusan sendiri, dan dari kemampuan mengelola potensi secara berdaulat.

Editorial ini bukan ajakan untuk pesimistis, tetapi sebuah refleksi agar pemerintah, pendamping desa, media, dan seluruh elemen masyarakat tidak puas hanya pada hasil-hasil administratif. Saatnya pembangunan desa menjejak pada realitas, bukan sekadar pada dokumen program kerja tahunan.

Di persimpangan jalan inilah desa kita berdiri. Menuju kemandirian sejati, atau kembali menjadi objek kebijakan yang hanya ramai saat anggaran turun, lalu sunyi ketika warga bicara.