SandiWartaNews.com – Jakarta, 28 Juni 2025 — Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menekankan pentingnya kesepahaman antara pemimpin politik dan militer dalam merumuskan strategi perang dan penyelesaian konflik internasional. Hal tersebut ia sampaikan dalam sebuah forum kajian geopolitik dan diplomasi internasional yang digelar secara daring.
Dalam paparannya, SBY menyebut bahwa keberhasilan suatu bangsa dalam menghadapi konflik atau perang bukan hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh kesatuan visi antara pemimpin sipil dan jenderal di lapangan.
“Tujuan politik dan militer harus selaras. Ketika terjadi perbedaan tajam, keputusan akhir tetap berada di tangan pemimpin politik. Inilah esensi supremasi sipil dalam sistem demokrasi,” ungkap SBY.
Contoh Sejarah dari Perang Korea
SBY mengangkat kasus Perang Korea (1950–1953) sebagai contoh penting. Ia merujuk pada peristiwa ketika Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman mencopot Jenderal Douglas MacArthur karena perbedaan strategi dalam menghadapi Korea Utara dan Cina. Menurutnya, langkah Truman mencerminkan prinsip bahwa keputusan akhir dalam perang tetap harus ditentukan oleh pertimbangan politik nasional dan global, bukan semata strategi militer.
Kesalahan Perhitungan dalam Konflik Timur Tengah
Dalam sesi analisisnya, SBY juga mengkritisi sejumlah aktor kunci dalam konflik Timur Tengah yang dinilainya telah melakukan kesalahan perhitungan (miscalculation).
Nama-nama seperti Benjamin Netanyahu (PM Israel), Ayatollah Ali Khamenei (Iran), dan Donald Trump (mantan Presiden AS) disebut sebagai pihak yang mengambil keputusan-keputusan strategis dengan tidak sepenuhnya mempertimbangkan respons global dan risiko eskalasi jangka panjang.
“Trump pernah berpikir satu serangan dapat menyelesaikan konflik. Dunia mengingatkan bahwa penyelesaian instan kerap menimbulkan komplikasi lanjutan,” jelas SBY.
Peran Kekuatan Besar dan Diplomasi Indonesia
Lebih lanjut, SBY menguraikan posisi kekuatan global dalam menyikapi konflik di Timur Tengah. Meskipun Amerika Serikat menjadi pihak paling berkepentingan, negara lain seperti Rusia dan Tiongkok cenderung bersikap pasif dalam keterlibatan militer langsung, meskipun memiliki afiliasi politik dan ekonomi dengan Iran.
Menurut SBY, hal ini menggambarkan kecenderungan kekuatan besar untuk menghindari konfrontasi langsung, seperti yang terlihat dalam konflik di Ukraina dan masa lalu seperti Perang Vietnam.
Dalam konteks inilah, diplomasi Indonesia dinilai sangat penting. Sebagai negara yang memiliki prinsip politik luar negeri bebas aktif, Indonesia diminta untuk terus mengambil posisi moral dalam mendukung kemerdekaan Palestina dan stabilitas kawasan Timur Tengah, baik melalui PBB, OKI, G20, maupun forum global lainnya.
Komitmen terhadap Perdamaian dan Hukum Internasional
SBY menutup pandangannya dengan mengajak seluruh pemimpin dunia untuk tidak hanya melihat konflik dari lensa geopolitik, tetapi juga dari sisi kemanusiaan dan keadilan internasional. Ia menegaskan bahwa suara-suara dari negara-negara berkembang seperti Indonesia harus tetap hadir dalam membentuk arsitektur perdamaian global.
“Jangan pernah lelah berdiplomasi. Karena satu diplomasi yang berhasil, bisa menyelamatkan ribuan nyawa,” tegasnya.