SandiWartaNews.com – Kota yang memiliki nilai religius tinggi bagi tiga agama besar dunia yaitu Yudaisme, Kristen, dan Islam, Yerusalem hingga kini masih menjadi salah satu titik paling rumit dan sensitif dalam konflik berkepanjangan antara Palestina dan Israel. Status kota ini tetap menjadi isu inti dalam berbagai forum internasional yang membahas konflik di Timur Tengah.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Kota yang juga dikenal dengan sebutan Al-Quds oleh masyarakat Muslim ini bukan hanya memiliki nilai historis, melainkan juga simbolik bagi identitas dan aspirasi nasional kedua belah pihak yang bersengketa.

Letak Strategis dan Struktur Kota

Secara geografis, Yerusalem berada di wilayah perbukitan Yudea, di antara Laut Mati dan Laut Mediterania. Kota ini terdiri atas dua bagian utama: Kota Lama (Old City) yang hanya seluas sekitar 1 km² dan terbagi dalam empat kuartal agama dan Kota Baru (New City) yang lebih modern dan luas.

Kota Lama menyimpan situs-situs suci seperti Tembok Ratapan, Gereja Makam Kudus, serta Kompleks Al-Haram Al-Syarif yang menaungi Masjid Al-Aqsa dan Kubah Batu. Inilah yang membuat setiap perubahan administratif atau politik di kota ini dapat memicu reaksi internasional.

Kilas Sejarah Penaklukan Yerusalem

Yerusalem memiliki sejarah panjang dan kompleks, mencakup lebih dari 3.000 tahun peradaban yang silih berganti. Pada abad ke-10 SM, kota ini menjadi pusat Kerajaan Israel di bawah Raja Daud dan Raja Salomo, sebelum akhirnya jatuh ke tangan Babilonia, Persia, Romawi, hingga kekuasaan Islam pada abad ke-7 M.

Selama Perang Salib dan era kolonial, Yerusalem terus berganti tangan antara penguasa Kristen Eropa dan Muslim Timur Tengah. Kekuasaan Ottoman menguasai kota ini selama lebih dari 400 tahun hingga akhirnya berakhir ketika Inggris mendudukinya pada tahun 1917.

Setelah Perang Dunia II dan runtuhnya Mandat Inggris atas Palestina, konflik politik kian memanas. Pada tahun 1947, PBB merekomendasikan Yerusalem menjadi kota internasional (corpus separatum) dalam rencana pembagian Palestina. Namun, realisasi rencana ini gagal akibat pecahnya perang antara Arab dan Yahudi tahun berikutnya.

Status Politik Yerusalem Kini

Setelah Perang Arab-Israel 1967, Israel mengambil alih Yerusalem Timur dan menyatakan seluruh kota sebagai ibu kota negara. Tindakan ini ditolak oleh mayoritas komunitas internasional, termasuk PBB, yang menganggap wilayah itu sebagai bagian dari Palestina yang diduduki secara ilegal.

Sebaliknya, pihak Palestina mengklaim Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depan mereka. Kesepakatan Oslo tahun 1993 menyatakan bahwa status akhir kota ini harus dirundingkan melalui mekanisme diplomatik.

Kompleksitas yang Belum Terselesaikan

Hingga saat ini, status final Yerusalem tetap tidak jelas. Meskipun Israel memusatkan pemerintahan di kota ini, sebagian besar negara menolak memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem sebagai bentuk ketidakpengakuan atas klaim eksklusif Israel.

Ketegangan pun kerap meningkat, terutama di sekitar situs suci. Masjid Al-Aqsa dan kawasan sekitarnya sering menjadi titik konflik antara pemukim Yahudi ekstremis dan warga Palestina. Ketegangan ini berimplikasi pada hubungan diplomatik di kawasan dan menghambat proses perdamaian yang lebih luas.

Simpul Sengketa yang Global

Komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, hingga kini menyerukan penyelesaian damai atas status Yerusalem melalui jalur diplomasi dan dialog dua negara. Namun, realitas politik dan perubahan kebijakan negara-negara besar seperti Amerika Serikat kerap memengaruhi dinamika penyelesaian tersebut.

Sebuah Pertanyaan yang Terbuka

Dengan sejarah panjang dan kompleksitas kontemporer yang menyertainya, pertanyaan mengenai siapa yang paling sah memiliki kedaulatan atas Yerusalem masih belum memiliki jawaban pasti. Kota ini bukan sekadar wilayah geografis, tetapi juga simbol eksistensi, spiritualitas, dan identitas bangsa-bangsa yang bersengketa.