SadniWartaNews.com – Tanah Sunda, salah satu wilayah di Nusantara yang paling awal menerima pengaruh Hindu-Buddha, secara mengejutkan memiliki sangat sedikit peninggalan candi dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kaya akan situs-situs monumental seperti Borobudur dan Prambanan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai peradaban Sunda kuno: apakah ia tertinggal, atau adakah alasan fundamental lain yang belum terungkap?
Tulisan ini bertujuan untuk membongkar kekeliruan teori-teori lama yang sering beredar, seperti kualitas batuan yang buruk, perbedaan ekspresi keagamaan, atau dominasi politik dari kerajaan luar seperti Sriwijaya dan Majapahit. Teori-teori tersebut dianggap “mengambang” dan tidak menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya. Penelusuran mendalam dalam tulisan ini akan mengungkapkan kunci utama misteri ini, yaitu perbedaan fundamental antara struktur masyarakat Sunda kuno dengan masyarakat di Jawa Tengah dan Timur, yang berpusat pada konsep Masyarakat Ladang (Huma) versus Masyarakat Sawah.
Struktur Masyarakat yang Berbeda: Masyarakat Ladang (Huma) vs. Masyarakat Sawah
Perbedaan mendasar dalam struktur masyarakat menjadi inti penjelasan mengapa peninggalan candi di Tatar Sunda sangat minim. Masyarakat Kerajaan Pajajaran digolongkan sebagai masyarakat ladang (huma) yang cenderung nomaden atau berpindah-pindah, sementara masyarakat Jawa kuno di Jawa Tengah dan Timur adalah masyarakat sawah yang menetap (sedenter). Perbedaan pola hidup ini secara langsung memengaruhi corak kebudayaan yang dihasilkan.
Masyarakat ladang memiliki pola hunian yang terpencar, mengikuti lokasi ladang yang digarap, sehingga cenderung lebih individualistik. Waktu kerja mereka panjang, hampir seharian penuh, yang mengurangi interaksi sosial dibandingkan masyarakat sawah. Mereka juga tidak mengenal tradisi pemujaan leluhur melalui makam permanen; kuburan hanya diberi tanda sementara dan dianggap kembali menjadi tanah biasa setelah 40 hari. Pola hidup berpindah-pindah ini, meskipun pusat pemerintahan mungkin menetap, tetap menjadi akar budaya mereka.
Sebaliknya, masyarakat sawah yang menetap memungkinkan pembentukan pusat-pusat kekuasaan yang stabil dan pengembangan tradisi pemujaan leluhur yang diwujudkan dalam bentuk bangunan fisik seperti candi. Di Jawa, candi berfungsi sebagai sarana penghormatan kepada raja atau tokoh leluhur yang telah wafat, berbeda dengan India di mana candi adalah tempat ibadah utama. Oleh karena itu, jika masyarakat Sunda tidak memiliki tradisi pemujaan semacam itu atau mengekspresikannya dengan cara yang berbeda, wajar jika pembangunan candi tidak berkembang seperti di Jawa Tengah dan Timur. Ini bukan soal kemajuan atau ketertinggalan budaya, melainkan perbedaan dalam cara pandang terhadap spiritualitas dan warisan leluhur.
Bukti Sejarah dari Catatan Kolonial: Pengenalan Pertanian Sawah oleh Belanda
Bukti kuat yang mendukung identifikasi masyarakat Pajajaran sebagai masyarakat huma ditemukan dalam catatan harian Kompeni (VOC), atau DAG Register, yang dikompilasi oleh The Han dalam karyanya “Periangan”. Dokumen-dokumen ini menunjukkan bahwa sistem pertanian sawah di Jawa Barat baru diperkenalkan secara masif pada abad ke-18 oleh Belanda, khususnya di bawah Gubernur Jenderal Van Imhof. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan produksi padi secara intensif, karena masyarakat lokal sebelumnya belum mengenal teknik persawahan.
Van Imhof bahkan harus mendatangkan petani-petani ahli dari Tegal dan Banyumas untuk mengajari penduduk lokal cara bercocok tanam di sawah. Lokasi pertama yang menjadi percontohan adalah Cisarua di Bogor, diikuti oleh Conggeang di Sumedang. Pengganti Van Imhof, Jacob Mosel, bahkan menerapkan kebijakan tegas dengan menetapkan Bogor sebagai daerah bebas huma dalam radius tertentu dari kota, yang kemudian diperluas. Kebijakan-kebijakan ini menjadi pendorong utama penyebaran pertanian sawah di Jawa Barat, terutama sejak pertengahan abad ke-17. Meskipun ada kemungkinan pertanian sawah diperkenalkan lebih awal oleh koloni Mataram di Karawang, penyebaran masifnya baru terjadi setelah campur tangan pemerintah kolonial. Fakta ini menegaskan bahwa pada masa Kerajaan Pajajaran, masyarakat Jawa Barat belum mengenal sistem pertanian sawah secara luas dan masih sangat bergantung pada ladang atau huma.
Lebih lanjut, banyak istilah yang digunakan petani Sunda dalam kegiatan membajak sawah, seperti “Nuluku” dan “Ngagaru,” berasal dari bahasa Jawa. Kosakata seperti “kalen,” “mid,” “luput,” “arang,” dan “damping” juga merupakan bukti adopsi dari budaya Jawa. Ini menunjukkan bahwa tradisi bersawah bukanlah praktik pertanian asli Sunda, melainkan dipengaruhi oleh kebudayaan luar, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ungkapan tradisional Sunda, “kerbau hanya paham bahasa Jawa,” secara tidak langsung merefleksikan realitas historis bahwa pertanian sawah di Tatar Sunda adalah hal yang relatif baru dan diperkenalkan oleh kebudayaan lain. Dengan demikian, budaya pertanian sawah di wilayah ini dapat dipandang sebagai hasil akulturasi, bukan bagian dari kebudayaan asli masyarakat Sunda masa Kerajaan Pajajaran yang lebih erat dengan pola hidup ladang atau huma.
Jejak dalam Sastra Kuno: Dominasi Istilah “Pahuma”
Bukti lain yang mendukung identitas masyarakat ladang di Pajajaran dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen sastra kuno. Naskah Carita Parahiyangan, misalnya, tidak pernah menyebut istilah “petani” atau “patani,” melainkan selalu menggunakan istilah “peladang” atau “pahuma.” Ini mengindikasikan bahwa kegiatan bertani pada masa itu lebih dekat dengan sistem peladangan.
Dalam legenda Pancakusika, yang menceritakan saudara-saudara Wertik Kendayun, raja dari Kerajaan Kacil Kendan, disebutkan bahwa sebagian dari mereka berprofesi sebagai peladang, penyadap nira aren, dan pemburu. Hal ini menekankan bahwa pola hidup masyarakat lebih berkaitan dengan alam liar dan pengolahan lahan hutan, bukan dengan pertanian sawah yang teratur dan membutuhkan sistem irigasi.
Lebih menarik lagi, dalam seluruh kisah panjang Carita Parahiyangan, kata “sawah” hanya muncul satu kali, dan itu pun tidak merujuk pada lahan pertanian padi, melainkan tempat mandi raja dan keluarganya atau tempat pemakaman Ratu Dewata. Ini diperkuat oleh bukti dari naskah kuno Koropak 630 Sanghyang Siksakanda Ngakaresian, yang juga tidak menyebut alat-alat pertanian sawah. Sebaliknya, naskah ini hanya menyebut perkakas seperti kujang, baliung, patik, koret, dan sadap, yang kesemuanya berkaitan erat dengan pertanian ladang atau aktivitas subsisten lainnya. Konsistensi penggunaan istilah dan deskripsi aktivitas dalam sastra kuno ini secara kuat mendukung argumen bahwa masyarakat Sunda kuno, khususnya di era Pajajaran, adalah masyarakat ladang.
Warisan Hidup Masyarakat Baduy: Cerminan Kebudayaan Huma
Tradisi masyarakat Baduy di Banten hingga kini menjadi cerminan hidup dari kebudayaan Sunda masa lampau. Komunitas Baduy dikenal sangat teguh memegang adat istiadat leluhur mereka, dan salah satu aturan adat yang paling kuat adalah larangan untuk mengolah sawah. Mereka hanya menggarap ladang atau huma sebagai bentuk utama pertanian, dan sistem ini diwariskan turun-temurun dari masa kerajaan Sunda, termasuk masa Pajajaran.
Penolakan masyarakat Baduy terhadap sistem persawahan menunjukkan konsistensi masyarakat Sunda dalam mempertahankan pola pertanian ladang yang sudah ada sejak zaman dahulu. Hal ini juga mengindikasikan bahwa pertanian sawah memang bukan bagian dari warisan budaya asli Tatar Sunda. Kehidupan Baduy memberikan bukti empiris yang kuat bahwa pola hidup huma bukan sekadar teori, melainkan praktik yang telah bertahan selama berabad-abad dan mencerminkan identitas budaya Sunda kuno.
Kunci dari Bahasa dan Tradisi Lisan: Istilah Persawahan dari Bahasa Jawa
Analisis bahasa Sunda modern juga memperkuat pandangan ini. Kata “huma” berasal dari bahasa Indonesia purba yang secara harfiah berarti “rumah.” Dalam bahasa Sunda, “ladang” berarti “hasil” atau “imbalan.” Ini menunjukkan bahwa bagi orang Sunda tempo dulu, tempat tinggal dan tempat bertanam padi adalah satu kesatuan. Rumah mereka adalah huma, tempat mereka bercocok tanam.
Kata “Ngahuma” dalam bahasa Sunda secara khusus merujuk pada kegiatan menanam padi di ladang, bukan di sawah. Ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan tradisional seperti “ladang kesang,” “ngaladangan,” atau “taya ladangnya,” yang semuanya mengasosiasikan hasil dengan huma, bukan sawah. Bahkan dalam nasihat lisan seperti “ulah sok pasea jeng dulur bisi pajau huma,” terlihat bahwa huma juga mengandung makna emosional dan sosial sebagai simbol kedekatan rumah dan hubungan kekerabatan. Semua ini menunjukkan bahwa budaya ladang bukan hanya sistem pertanian, tetapi juga bagian dari struktur sosial dan spiritual masyarakat Sunda zaman dahulu.
Sebaliknya, istilah-istilah persawahan dalam bahasa Sunda banyak diserap dari bahasa Jawa. Fenomena ini, ditambah dengan ungkapan “kerbau hanya paham bahasa Jawa” yang menjadi sindiran historis kuat, semakin menegaskan bahwa pertanian sawah adalah hal yang relatif baru dan diperkenalkan oleh kebudayaan lain, bukan berasal dari tradisi asli Sunda.
Kesimpulan: Memahami Sejarah Sunda dengan Cara Pandang Baru
Dalam mengkaji sejarah Sunda lama, memahami tatanan atau bangunan masyarakat merupakan hal yang sangat penting. Sayangnya, banyak peneliti sejarah Pajajaran dan Sunda pada umumnya kurang memperhatikan aspek ini, kerap menyamakan perkembangan sejarah Sunda dengan sejarah Jawa kuno. Padahal, keduanya memiliki struktur masyarakat yang berbeda: masyarakat Sunda lama cenderung bertipe ladang, sementara masyarakat Jawa kuno umumnya bertipe sawah. Perbedaan ini membawa konsekuensi terhadap corak kebudayaan, sistem sosial, hingga peninggalan sejarah yang dihasilkan.
Salah satu kekeliruan yang muncul adalah mengukur kemajuan peradaban Sunda berdasarkan kriteria yang berlaku untuk masyarakat sawah, seperti pembangunan candi atau sistem pemakaman leluhur. Padahal, masyarakat ladang memiliki pendekatan yang berbeda dalam hal spiritualitas, pertanian, hingga interaksi sosial. Candi sebagai produk budaya masyarakat sawah tidak selaras dengan pola pikir masyarakat huma.
Ketika Candi Cangkuang di Leles Garut ditemukan dan digali, banyak pihak mengira bahwa temuan itu akan mengguncangkan pemahaman tentang sejarah kuno Sunda. Namun, yang ditemukan hanyalah struktur kecil yang tidak sebanding dengan candi-candi besar di Jawa Tengah. Meskipun berasal dari masa Raja Sanjaya abad ke-8, temuan ini tetap tidak mengubah kenyataan bahwa budaya Sunda lama dibentuk oleh cara hidup masyarakat ladang yang secara alamiah tidak menghasilkan bangunan monumental seperti candi. Para peneliti akan terus menemui jalan buntu jika terus-menerus menggunakan sudut pandang lama, yakni mengukur sejarah Sunda kuno berdasarkan tolok ukur sejarah Jawa Tengah, padahal tatanan sosial dan struktur masyarakat antara keduanya sangat berbeda. Candi Cangkuang justru menjadi contoh nyata bahwa pendekatan tersebut keliru.
Ketika Hinduisme mulai masuk ke Jawa Barat, wajar jika muncul upaya membangun candi sebagaimana di daerah lain. Namun, karena budaya masyarakat ladang di Tatar Sunda tidak mendukung tradisi pembangunan candi, maka usaha tersebut tidak berkembang dan akhirnya terhenti. Kasus Candi Cangkuang sangat logis bila dilihat dari sudut ini. Budaya sawah seperti di Jawa Tengah yang cenderung menetap dan membentuk pusat-pusat kekuasaan yang stabil lebih memungkinkan munculnya bangunan candi megah seperti yang terlihat di kompleks Dieng.
Sementara itu, dalam Carita Parahiyangan hanya disebutkan tempat penguburan Raja-raja Pajajaran tanpa keterangan adanya candi atau bangunan keagamaan serupa. Ini menunjukkan bahwa candi bukan bagian dari tradisi asli masyarakat Sunda lama, melainkan bentuk budaya luar yang gagal menyatu secara utuh dalam sistem nilai masyarakatnya. Walaupun dalam benak kita muncul dugaan bahwa konsep candi mungkin juga hadir dalam masyarakat Pajajaran, hal tersebut tampaknya tidak mewujud dalam praktik yang umum. Koropak 630 memang sempat menyinggung soal candi, namun kenyataannya bangunan semacam itu tidak populer dan tidak menjadi bagian dari tradisi arsitektur yang berkembang.
Jika kita berpijak pada sistem kehidupan masyarakat huma yang berpindah-pindah dan tidak menetap, maka harapan untuk menemukan peninggalan candi yang utuh seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebaiknya mulai ditinggalkan. Di sinilah letak kekeliruan para sarjana Belanda dalam mengkaji sejarah Sunda kuno. Mereka terlalu berpatokan pada kerangka sejarah dan budaya Jawa Tengah dan Timur tanpa mempertimbangkan secara mendalam bangunan sosial budaya masyarakat Tatar Sunda yang berbeda secara mendasar. Dengan demikian, pendekatan mereka tidak hanya menyesatkan, tetapi juga mengaburkan pemahaman yang utuh terhadap warisan budaya dan sejarah masyarakat Sunda sendiri.
Lebih mudah lagi memahami karakter masyarakat Sunda lama jika kita meneliti isi prasasti-prasastinya. Umumnya, prasasti Sunda bersifat langsung, lugas, dan tidak dipenuhi mantra panjang seperti yang lazim ditemukan dalam tradisi sastra Jawa atau Bali. Gaya bahasanya sederhana dan to the point. Berdasarkan ciri ini, kita bisa menyimpulkan bahwa prasasti Jayabupati di Cibadak dengan penggunaan bahasa Kawi dan dominasi bagian rajah atau mantra tidak mencerminkan ciri khas kesusastraan Sunda kuno. Semua hasil sastra era Pajajaran sebagaimana disebut sebelumnya memiliki gaya yang padat dan penuh makna, khas dari kebudayaan masyarakat Huma yang sederhana namun fungsional. Demikian pula penghormatan terhadap raja-raja besar seperti Wastukancana dan Sri Baduga tidak diwujudkan dalam bentuk candi atau bangunan megah, melainkan cukup melalui prasasti yang syarat makna. Dari sini semakin jelas bahwa jejak sejarah dan budaya masyarakat Sunda Kuno tidak bisa diukur dengan standar budaya masyarakat sawah seperti di Jawa Tengah. Memahami bangunan masyarakat huma adalah kunci untuk membaca ulang sejarah Sunda secara lebih jernih dan proporsional.
Penutup: Membedah Ulang Sejarah dengan Kacamata Masyarakat Huma
Misteri minimnya peninggalan candi di Tatar Sunda bukanlah pertanda keterbelakangan peradaban, melainkan cermin dari perbedaan mendasar dalam struktur sosial dan budaya antara masyarakat Sunda kuno dan masyarakat Jawa kuno. Budaya ladang (huma) yang berpindah-pindah dan lebih individualistik tidak memerlukan bangunan monumental sebagai pusat pemujaan, sebagaimana budaya sawah yang menetap dan berpusat pada kultus leluhur. Upaya membandingkan peradaban Sunda kuno dengan Jawa Tengah, berdasarkan parameter seperti jumlah dan kemegahan candi adalah pendekatan yang keliru dan menyederhanakan kompleksitas kebudayaan lokal.
Jejak sejarah Sunda lama justru harus ditelusuri melalui pemahaman terhadap sistem kehidupan masyarakat ladang, bahasa, tradisi lisan, hingga pola pertanian yang khas. Tradisi Baduy, naskah-naskah kuno, dan catatan kolonial Belanda membuktikan konsistensi pola hidup ini yang berlangsung selama berabad-abad. Ketidakhadiran candi-candi besar bukanlah kekosongan budaya, melainkan bentuk lain dari spiritualitas dan struktur sosial yang tidak memerlukan simbol arsitektural megah.
Dengan membuka kembali cara pandang kita terhadap sejarah Sunda dan tidak lagi terpaku pada standar-standar luar, kita akan menemukan bahwa masyarakat huma memiliki nilai, kedalaman, dan kearifan yang tak kalah penting dalam mozaik peradaban Nusantara. Inilah saatnya kita membaca sejarah Sunda bukan dari apa yang tidak mereka tinggalkan, melainkan dari warisan yang mereka pilih untuk jaga dengan cara mereka sendiri.