sandiwartaNews.com – Jakarta, 21 Juni 2025 — Ketegangan antara Iran dan Israel kembali meningkat secara signifikan setelah rentetan serangan militer Israel terhadap fasilitas nuklir Iran dan tokoh-tokoh penting Garda Revolusi. Dalam acara Kabar Pagi yang disiarkan melalui TV One (SabtU, 21/6/2025), Prof. Dr. Siti Mutiah Setiawati, Guru Besar Geopolitik Timur Tengah dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, menyampaikan pandangan kritis mengenai dampak strategis dan kemanusiaan dari konflik yang telah berlangsung lebih dari sepekan tersebut.
Israel Picu Eskalasi Serius, Iran Dipaksa Tunjukkan Daya Tahan
Prof. Siti menjelaskan bahwa serangan militer Israel yang menewaskan ketua Garda Revolusi Iran, ketua militer nasional, serta dua ahli nuklir, dinilai telah melewati batas. Serangan terakhir yang terjadi pada 13 Juni 2025 ini diberi sandi operasi “The Rising Lion” (Singa Bangkit), yang menurutnya secara simbolis merupakan upaya untuk “membangkitkan” amarah Iran sebagai justifikasi aksi militer lanjutan.
“Selama ini, Iran menunjukkan sikap yang cukup menahan diri. Tapi kalau serangan terus-menerus menyasar titik vital seperti fasilitas nuklir Natanz dan Honda, itu provokasi yang sangat serius,” jelasnya.
Kepemimpinan Baru Iran Dinilai Kurang Tegas
Prof. Siti juga menyoroti bahwa perubahan kepemimpinan dari Presiden Ibrahim Raisi ke Presiden Masoud P., turut memengaruhi respons Iran. “Raisi dikenal lebih hati-hati. Tapi Masoud belum menunjukkan ketegasan yang sama. Ini bisa jadi salah satu alasan Israel mengambil celah untuk menyerang,” ujarnya.
Pelanggaran Hukum Internasional dan Potensi Bencana Kemanusiaan
“Menyerang fasilitas nuklir di masa damai, apalagi milik negara berdaulat, jelas melanggar hukum internasional,” tegas Prof. Siti. Ia juga memperingatkan risiko kemanusiaan jika terjadi kebocoran dari instalasi nuklir tersebut, baik bagi masyarakat sipil Iran maupun kawasan sekitarnya.
Apakah Perang Dunia Ketiga Akan Terjadi?
Meski situasi sangat tegang, Prof. Siti meyakini bahwa konflik ini belum masuk kategori Perang Dunia Ketiga. “Iran tidak memiliki dukungan global setara seperti Israel yang didukung Amerika Serikat dan negara-negara G7. Jadi ini lebih merupakan konflik terbatas dengan dimensi global,” paparnya. Menurutnya, keterlibatan kelompok Houthi atau Hizbullah tak sebanding dengan dukungan institusional yang dimiliki Israel.
Indonesia Diminta Fokus Evakuasi WNI, Bukan Mediasi
Dalam konteks geopolitik global, Indonesia disebut tetap konsisten pada posisi mendukung Palestina dan menolak segala bentuk agresi terhadap negara berdaulat. Namun, Prof. Siti menekankan bahwa Indonesia harus lebih fokus pada evakuasi warga negara Indonesia (WNI) dari kawasan konflik terlebih dahulu.
“Negara kita bukan negara besar dengan kekuatan intervensi, jadi lebih realistis bila fokus evakuasi dulu, baru bicara mediasi bila kondisi memungkinkan,” jelasnya. Beberapa negara tujuan sementara yang disarankan sebagai lokasi pengungsian WNI adalah Qatar, Oman, dan Uni Emirat Arab.
Kenaikan Harga Minyak dan Dampaknya bagi Indonesia
Prof. Siti mengingatkan bahwa Iran merupakan salah satu produsen minyak utama dunia. Konflik di kawasan Teluk akan menyebabkan harga minyak global melonjak, yang dapat berdampak langsung pada ekonomi Indonesia sebagai negara pengimpor.
“Kita tidak bisa abaikan dampaknya ke APBN, karena Indonesia sudah bukan negara pengekspor minyak. Tapi untungnya, saat ini sudah ada transisi ke energi lain seperti biofuel dan listrik batu bara, jadi ketergantungan sedikit berkurang,” tambahnya.
Konflik antara Iran dan Israel terus menjadi perhatian global. Seruan untuk menahan diri, menghormati hukum internasional, dan menjunjung prinsip kemanusiaan semakin kuat. Dalam pandangan Prof. Dr. Siti Mutiah, solusi jangka panjang hanya bisa dicapai jika kekuatan luar berhenti menunggangi konflik ini dan memberi ruang diplomasi yang adil.