Sandiwartanews.com – Keluhan masyarakat terkait penarikan kendaraan oleh oknum debt collector kembali menjadi sorotan publik. Dalam berbagai laporan, banyak warga yang mengaku kendaraan mereka dihentikan dan ditarik paksa di jalan tanpa prosedur yang jelas. Fenomena ini memunculkan keresahan baru, terutama karena sebagian besar masyarakat belum memahami kapan penarikan kendaraan dianggap sah secara hukum, dan kapan justru merupakan tindakan melawan hukum.

Penjelasan mengenai persoalan ini banyak disuarakan oleh para pegiat literasi hukum, termasuk Nan Riadi, yang dalam sebuah video mengurai persoalan eksekusi fidusia secara gamblang. Informasi tersebut kini menjadi rujukan penting bagi masyarakat agar tidak menjadi korban praktik intimidatif yang dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan pihak pembiayaan.

Aturan Fidusia dan Perubahan Fundamental Pasca Putusan MK No. 18/2019

Sebagian besar kendaraan yang dibeli melalui sistem kredit dijaminkan melalui mekanisme perjanjian fidusia. Perjanjian ini merupakan bentuk jaminan yang mengikat antara debitur dan perusahaan pembiayaan. Pada praktik sebelumnya, perusahaan leasing diperbolehkan melakukan penarikan kendaraan langsung ketika debitur dinilai melakukan wanprestasi atau menunggak angsuran.

Namun sejak terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, paradigma tersebut berubah secara signifikan. Putusan tersebut menegaskan dua poin utama:

1. Jika debitur tidak menyerahkan kendaraan secara sukarela, maka perusahaan pembiayaan tidak berhak melakukan eksekusi sendiri.
Dengan demikian, penarikan kendaraan tidak bisa dilakukan sepihak, apalagi di jalan raya.

2. Eksekusi jaminan fidusia wajib melalui permohonan ke Pengadilan Negeri.
Pengadilanlah yang memiliki otoritas melakukan eksekusi melalui penetapan resmi, bukan perusahaan pembiayaan atau oknum debt collector.

Nan Riadi menjelaskan bahwa sejak keluarnya putusan tersebut, upaya “penarikan paksa” di jalan bukan lagi dianggap sebagai eksekusi fidusia yang sah. “Itu sudah masuk kategori tindakan melawan hukum dan berpotensi tindak pidana,” ujarnya.

Tindakan Paksa Oknum DC Berpotensi Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur secara tegas berbagai bentuk larangan terkait penarikan paksa yang dilakukan dengan ancaman atau kekerasan. Beberapa pasal yang berpotensi dikenakan antara lain:

  • Pasal 365 KUHP: Perampasan disertai kekerasan.
  • Pasal 368 KUHP: Pemerasan dengan ancaman.
  • Pasal 335 KUHP: Tindakan tidak menyenangkan atau intimidasi.
  • Pasal 53 KUHP: Percobaan tindak pidana, meskipun tindakan belum berhasil dilakukan.

Dengan dasar hukum tersebut, tindakan seperti mengadang kendaraan di jalan, menarik kunci motor, memaksa pengendara turun, hingga mengancam akan membawa kendaraan secara sepihak dapat diproses secara pidana.

Nan Riadi menekankan bahwa menarik kendaraan tanpa izin debitur bukanlah penegakan hukum. “Itu bukan prosedur legal. Itu tindakan melawan hukum,” tegasnya.

Hak dan Langkah yang Bisa Dilakukan Debitur

Ketika menghadapi situasi di mana kendaraan ditarik secara paksa di jalan, banyak masyarakat cenderung panik dan tidak tahu harus bertindak bagaimana. Padahal, debitur memiliki hak yang dilindungi oleh undang-undang.

Berikut langkah-langkah yang dianjurkan:

1. Jangan Melawan Secara Fisik

Meski tindakan oknum debt collector memancing emosi, debitur tidak disarankan melakukan perlawanan fisik. Keselamatan menjadi prioritas utama.

2. Dokumentasikan Segala Bukti

Catat waktu, lokasi, identitas pelaku, dan rekam peristiwa dengan video atau foto. Bukti tersebut sangat penting untuk proses laporan.

3. Lapor ke Kepolisian

Debitur dapat melaporkan kejadian tersebut dengan dasar dugaan tindak pidana:

  • Perampasan
  • Pengancaman
  • Pemerasan
  • Pencurian
  • Atau percobaan tindak pidana

4. Mintalah Pendampingan Hukum

Jika memiliki kuasa hukum atau pengacara pribadi, mintalah pendampingan untuk memastikan proses hukum berjalan dengan baik.

5. Laporkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Jika terbukti perusahaan pembiayaan menggunakan jasa debt collector tidak berizin atau bertindak di luar kewenangannya, debitur dapat melapor ke OJK untuk mendapatkan perlindungan.

Kewajiban Perusahaan Pembiayaan

Perusahaan pembiayaan tidak hanya memiliki hak menagih, tetapi juga kewajiban mematuhi aturan yang ditetapkan oleh undang-undang dan MK. Leasing wajib:

Menyampaikan surat pemberitahuan tunggakan secara resmi.

Memberikan kesempatan restrukturisasi pembayaran.

Menghormati prinsip sukarela dalam eksekusi.

Mengajukan permohonan penetapan eksekusi ke Pengadilan Negeri jika debitur tidak menyerahkan kendaraan.

Penggunaan tenaga debt collector juga harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh OJK. Setiap tenaga penagih wajib memiliki sertifikasi serta mematuhi pedoman kode etik dalam melakukan tugasnya.

Jika tidak, perusahaan pembiayaan ikut bertanggung jawab atas tindakan intimidatif yang dilakukan oleh pihak ketiga tersebut.

Pentingnya Edukasi Hukum Bagi Masyarakat

Kasus penarikan paksa kendaraan menunjukkan masih rendahnya literasi hukum di masyarakat. Banyak warga tidak menyadari bahwa mereka dapat menolak penarikan kendaraan jika tidak ada putusan pengadilan. Penggunaan ancaman atau kekerasan oleh oknum debt collector seharusnya menjadi alarm bagi masyarakat untuk memahami hak hukumnya.

Nan Riadi mengimbau masyarakat agar terus mempelajari aturan hukum. “Melek hukum adalah langkah awal untuk melindungi diri,” tuturnya.

Sandiwartanews.com menilai perlunya sinergi dari berbagai pihak, mulai dari aparat penegak hukum, OJK, perusahaan pembiayaan, hingga masyarakat, untuk menciptakan lingkungan yang aman dan berkeadilan.

Penutup

Perubahan aturan fidusia pasca Putusan MK Nomor 18/2019 menegaskan bahwa penarikan kendaraan tidak bisa dilakukan sembarangan. Langkah paksa yang dilakukan di jalan bukan hanya tidak sah, tetapi juga bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.

Dengan memahami hak-hak sebagai debitur, termasuk prosedur penarikan yang sah, masyarakat dapat lebih tenang dan terhindar dari tindakan sewenang-wenang oknum debt collector.

Hukum harus ditegakkan dengan cara yang manusiawi, beradab, dan sesuai aturan.
Tidak ada tempat bagi intimidasi dan kekerasan dalam proses penegakan hukum.