SandiWartaNews.com – Kota terbesar kedua di Indonesia ini menyimpan sebuah kisah legenda yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Sebuah cerita rakyat yang sarat dengan makna simbolis dan nilai-nilai moral, tentang perseteruan antara dua makhluk buas: Hiu Sura, sang penguasa lautan, dan Buaya Baya, penguasa daratan dan sungai.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Awal Konflik dan Perjanjian Damai

Konflik bermula dari perebutan wilayah dan mangsa antara Sura dan Baya. Masing-masing merasa berhak atas seluruh kawasan laut, sungai, dan daratan. Perkelahian demi perkelahian terjadi, namun tidak pernah membuahkan hasil karena kekuatan keduanya seimbang.

Untuk menghindari konflik yang berlarut-larut, Sura mengusulkan kesepakatan damai: pembagian wilayah kekuasaan. Sura akan menguasai laut, sedangkan Baya berkuasa di daratan. Sungai dijadikan sebagai batas wilayah, dengan sebuah batu besar sebagai penanda perjanjian. Kesepakatan ini diterima kedua belah pihak, dan ketenangan pun kembali menyelimuti alam.

Pengkhianatan dan Pecahnya Konflik Baru

Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Sura, yang merasa jenuh dengan kehidupan laut, diam-diam melanggar perjanjian dengan memasuki wilayah sungai dan mencuri mangsa di darat, yakni rusa makanan favorit Baya. Kejadian ini berlangsung berulang kali tanpa diketahui oleh Baya.

Ketika populasi rusa menurun drastis, kecurigaan Baya pun muncul. Ia lalu menyusun rencana untuk menguji kecurigaannya. Seekor rusa dengan kaki yang sengaja dilukai diletakkan di tepi sungai sebagai umpan. Ketika Sura datang dan hendak membawa rusa itu, Baya muncul dari balik batu dan memergoki pengkhianatan Sura.

Pertarungan Penentu dan Awal Nama Surabaya

Pertengkaran hebat pun kembali pecah. Sura dan Baya terlibat dalam pertarungan yang jauh lebih sengit dari sebelumnya. Dalam pertempuran tersebut, Baya berhasil menggigit ekor Sura hingga putus. Sura yang kesakitan akhirnya melarikan diri ke laut dan tidak pernah kembali.

Peristiwa ini menjadi momen penentu, yang kemudian dikenang dalam nama kota “Surabaya”, gabungan dari dua kata: “Sura” (hiu) dan “Baya” (buaya). Kini, nama tersebut menjadi simbol perjuangan, kekuatan, dan identitas sebuah kota yang terus tumbuh menjadi salah satu pusat peradaban modern di Indonesia.

Makna Simbolis dan Nilai Moral

Legenda Surabaya tidak sekadar cerita hiburan. Ia menyimpan berbagai pelajaran kehidupan yang kontekstual hingga masa kini:

  • Pentingnya Menepati Janji: Sura yang melanggar kesepakatan akhirnya harus menanggung konsekuensi besar. Cerita ini mengajarkan bahwa integritas dan konsistensi terhadap komitmen adalah pondasi dari perdamaian.
  • Keserakahan dan Kejatuhan: Meskipun telah memiliki wilayah laut yang luas, ketamakan Sura membuatnya ingin menguasai wilayah Baya. Keserakahan ini menjadi penyebab kekalahannya, yang menggambarkan bahwa ambisi berlebih kerap membawa kehancuran.
  • Kecerdikan sebagai Strategi Bertahan: Baik Sura maupun Baya memperlihatkan kecerdikan dalam strategi mereka. Namun, hanya yang memanfaatkan kecerdikan untuk kebenaran yang pada akhirnya unggul.
  • Asal-usul Identitas Daerah: Dengan menggabungkan dua nama hewan tersebut, “Surabaya” menjadi penanda historis dan kultural, sekaligus ikon yang terus dipertahankan melalui patung legendaris di tengah kota dan berbagai simbol resmi pemerintahan.

Warisan Budaya yang Terjaga

Cerita ini telah menjadi bagian dari khazanah budaya Jawa Timur. Melalui seni pertunjukan, dongeng rakyat, mural, hingga ikon-ikon wisata kota, legenda ini terus dilestarikan. Tidak hanya sebagai dongeng masa kecil, namun juga sebagai media edukasi yang memperkenalkan anak-anak dan generasi muda pada pentingnya nilai luhur seperti kejujuran, keberanian, dan keadilan.

Surabaya bukan hanya kota dengan sejarah kolonial dan perkembangan pesat di era modern, tetapi juga kota dengan akar budaya yang dalam. Legenda Hiu dan Buaya menjadi bagian integral dalam membentuk karakter dan semangat warganya yang keras, berani, tapi menjunjung tinggi keadilan.

Dari pertarungan dua makhluk buas hingga lahirnya nama Surabaya, legenda ini menjadi simbol keteguhan dan peringatan akan akibat dari pengkhianatan. Lebih dari sekadar kisah rakyat, ini adalah cermin dari nilai-nilai kehidupan yang tetap relevan dalam dinamika masyarakat masa kini.