SandiWartaNews.com – Sejarah sebuah kota seringkali mencerminkan perubahan masyarakat yang mendiaminya. Kota Bogor, yang terletak sekitar 55 kilometer dari Jakarta, adalah contoh nyata dari fenomena ini. Wilayah ini telah menjadi saksi bisu tumbuh kembangnya berbagai peradaban yang membentuk perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sejak abad ke-5 Masehi, Bogor diyakini sebagai lokasi berdirinya Kerajaan Hindu Tarumanegara, salah satu kerajaan awal di Nusantara yang memiliki pengaruh signifikan. Lebih lanjut, wilayah ini juga menjadi tempat berdirinya Kerajaan Pajajaran, kerajaan Hindu terakhir di Nusantara, yang sangat berpengaruh di Bumi Pasundan dari abad ke-15 hingga abad ke-16.
Pada periode kolonial, khususnya dari abad ke-18 hingga awal 1940-an, Bogor, yang saat itu dikenal dengan nama Buitenzorg, memegang peranan penting sebagai salah satu kota strategis dalam pemerintahan kolonial. Kota ini berfungsi sebagai tempat peristirahatan bagi sejumlah pejabat tinggi pemerintah kolonial, bahkan beberapa di antaranya memilih untuk tinggal dan berkantor di sini. Transformasi Bogor dari pusat kerajaan kuno menjadi kota kolonial yang penting menunjukkan dinamika sejarah yang kompleks dan berlapis, di mana setiap era meninggalkan jejak peradaban yang berbeda namun saling terkait.
Kerajaan Pajajaran: Kejayaan dan Keruntuhan
Jauh sebelum era kolonial, pada abad ke-15 hingga ke-16, Kerajaan Pajajaran berdiri dan mencapai puncak kejayaannya di wilayah yang kini dikenal sebagai Bogor. Keberadaan dan dugaan lokasi keraton kerajaan ini dikonfirmasi oleh penemuan Prasasti Batu Tulis yang bertarikh 1533 Masehi. Prasasti ini, yang ditemukan dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Sersan Speo pada tahun 1687, mengabadikan catatan tentang kekuasaan dan kesuksesan Prabu Siliwangi dalam memimpin Kerajaan Pakuan Pajajaran.
Menurut berbagai penelitian, lokasi penemuan prasasti ini diyakini sebagai pusat Keraton Pakuan Pajajaran. Nama “Pakuan” sendiri merujuk pada tempat kota yang “berjajar”, karena konon keratonnya terdiri dari lima bangunan yang berjajar. Meskipun detail arsitektur tidak disebutkan secara rinci, gambaran umum menunjukkan bahwa keraton tersebut sangat besar, dilengkapi dengan taman dan perkebunan yang luas, serta dihuni oleh populasi yang besar, diperkirakan mencapai 50 ribu jiwa. Ini menunjukkan tingkat peradaban dan kemakmuran yang tinggi pada masa itu, dengan adanya hubungan luar negeri yang terjalin baik dengan Eropa, Tiongkok, dan India, serta dengan raja-raja di wilayah lain di Nusantara.
Namun, kejayaan Pajajaran tidak berlangsung selamanya. Sisa-sisa bangunan keraton yang diduga terletak tidak jauh dari lokasi Prasasti Batu Tulis kini sudah tidak ditemukan. Bangunan Keraton Pajajaran diyakini hancur saat kerajaan itu diserbu oleh Kesultanan Banten pada tahun 1551 Saka atau 1579 Masehi. Keruntuhan ini menandai berakhirnya salah satu babak penting dalam sejarah Bogor, mengubah lanskap wilayah tersebut menjadi hutan belantara.
Penemuan Kembali dan Awal Mula Buitenzorg
Satu abad setelah keruntuhan Kerajaan Pajajaran, ketika Prasasti Batu Tulis ditemukan oleh Sersan Speo, sebagian besar wilayah Batu Tulis dan sekitarnya telah menjadi hutan belukar. Meskipun tidak ditemukan pemukiman permanen di dekat lokasi prasasti, tim ekspedisi Speo berhasil menemukan jejak-jejak yang mengindikasikan adanya pemukiman sebelumnya, seperti pohon-pohon buah yang ditanam secara teratur, jalan berbatu, dan bekas parit. Penemuan artefak-artefak lain, seperti alat pengukuran cahaya matahari dan penunjuk bintang, juga menguatkan dugaan bahwa wilayah ini dulunya adalah lahan kerajaan yang maju.
Penemuan kembali jejak-jejak peradaban leluhur ini, yang sebelumnya hanya dikenal melalui cerita-cerita pantun, membawa kesadaran baru bagi masyarakat setempat. Dua tahun setelah penemuan Prasasti Batu Tulis, pendamping Sersan Speo, seorang sersan pribumi asal Sumedang bernama Tanu Jiwa, atas izin VOC, mendirikan pemukiman tak jauh dari lokasi penemuan batu tulis. Pemukiman ini dinamai Kampung Baru atau Tanah Baru, yang kemudian memicu munculnya pemukiman-pemukiman lain di sekitarnya.
Ketenangan, kedamaian, dan kesejukan kawasan Kampung Baru akhirnya menarik perhatian pejabat VOC. Pada tahun 1744, Gubernur VOC Gustav Willem van Imhoff memutuskan untuk membangun sebuah istana sebagai tempat peristirahatan di kawasan ini. Istana megah dengan taman yang sangat luas inilah yang kini dikenal sebagai Istana Bogor. Nama “Buitenzorg” sendiri, yang berarti “tanpa kekhawatiran” atau “bebas dari kekhawatiran”, adalah terjemahan dari istilah Prancis “Sans Souci”, yang mencerminkan keinginan para pejabat kolonial untuk menemukan tempat yang tenang jauh dari hiruk pikuk Batavia. Van Imhoff, yang terpengaruh aliran romantis di Jerman dan mengagumi pemikiran Rousseau, mencari kedekatan dengan alam dan dunia yang hening, yang ia temukan di Bogor.
Perkembangan Buitenzorg sebagai Pusat Kolonial
Pembangunan istana oleh Gubernur Jenderal Gustav Willem van Imhoff menjadi titik awal perkembangan kawasan ini menjadi kota peristirahatan yang sangat disukai oleh para pejabat kolonial. Kenyamanan dan kedamaian Kampung Baru membuat VOC menyebutnya sebagai kota Buitenzorg. Istana Buitenzorg, yang awalnya merupakan bangunan tiga lantai, mengalami beberapa kali penambahan dan penyempurnaan oleh para gubernur jenderal berikutnya. Namun, bangunan asli istana ini roboh sepenuhnya akibat gempa tektonik pada 10 Oktober 1834.
Setelah dibiarkan beberapa tahun, Istana Bogor kembali dibangun pada tahun 1851. Istana baru ini tidak lagi dibangun bertingkat, kemungkinan untuk menghindari kerusakan akibat gempa bumi di masa depan, mengingat adanya siklus gempa bumi besar di Jawa Barat bagian barat setiap 200 tahunan. Pada tahun 1870, Istana Buitenzorg resmi dijadikan kediaman resmi Gubernur Jenderal Hindia Belanda hingga berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara pada tahun 1942.
Perkembangan pesat kota Buitenzorg pada pertengahan abad ke-18 juga didorong oleh pembangunan Jalan Raya Pos yang digagas oleh Gubernur Jenderal William Daendels pada tahun 1809-1810. Salah satu rutenya melewati Buitenzorg, membuat akses menuju kota ini semakin mudah. Jalan Raya Pos tidak hanya mempermudah transportasi tetapi juga memperkenalkan daerah-daerah baru yang disebut “Loji”, tempat Daendels membangun pos dan gudang untuk menyimpan hasil perkebunan dan pertanian.
Kebun Raya Bogor: Pusat Riset dan Ekonomi Kolonial
Ketika kerajaan Inggris menguasai Nusantara dari tahun 1811 hingga 1816, Gubernur Jenderal Stanford Raffles, yang sangat menyukai ilmu botani, mengembangkan taman istana dan hutan buatan dekat bangunan istana. Hutan ini diyakini telah ada sejak zaman Kerajaan Pajajaran. Raffles mengubahnya menjadi sebuah kebun yang indah. Ketika Belanda kembali berkuasa, pengembangan kebun yang dirintis Raffles tetap diteruskan. Pada tanggal 18 Mei 1817, Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip van der Capellen secara resmi mendirikan Kebun Raya di lokasi itu dengan nama ‘s Lands Plantentuin.
Kebun Raya ini tidak hanya berfungsi sebagai taman kota, tetapi juga menjadi pusat riset ekonomi kolonial Belanda. Ini adalah laboratorium untuk mengembangkan spesies-spesies tanaman industri yang bisa dieksploitasi. Produk-produk terkenal seperti kina, yang kemudian menjadikan Bandung sebagai “kota kina dunia”, awalnya berasal dari Kebun Raya Bogor dan Kebun Raya Cipanas sebagai anak cabangnya. Selain itu, tebu dan kopi, yang telah dibudidayakan sejak zaman Gubernur Jenderal Mossel, semakin berkembang pesat, terutama selama masa Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa), di mana kopi menjadi salah satu komoditas utamanya.
Sepanjang abad ke-19, kota Buitenzorg terus berkembang menjadi kota peristirahatan dan pertanian yang nyaman. Memasuki abad ke-19, akses ke Buitenzorg semakin mudah seiring dibukanya jalur kereta api dari Batavia ke Buitenzorg pada tahun 1881. Peran Buitenzorg bagi pemerintah kolonial juga semakin penting setelah gedung Algemene Secretarie (Sekretariat Umum) dan berbagai lembaga penelitian terkait perkebunan, pertanian, dan peternakan dibangun di sekitar istana.
Bogor Pasca-Kemerdekaan: Tantangan Urbanisasi dan Pelestarian Identitas
Dengan status sebagai salah satu pusat pemerintahan dan administrasi Hindia Belanda, pembangunan kota Buitenzorg diarahkan pada corak kota kolonial. Corak ini ditandai dengan konsep kota taman yang memiliki ciri-ciri seperti jalan raya yang lebar dengan pohon-pohon rindang, pasar yang luas, dan vila-vila dengan taman yang luas. Pada masa ini, sejumlah bangunan penting penunjang prasarana kota seperti kantor pemerintahan, rumah sakit, tempat ibadah, klub elit, dan hotel-hotel dibangun. Banyak bangunan lama dari era ini masih tegak berdiri dan berfungsi dengan baik hingga kini, seperti rumah dinas asisten residen Buitenzorg.
Ketika pemerintahan kolonial Belanda berakhir pada tahun 1942 dan wilayah Nusantara jatuh ke tangan Jepang, kota Buitenzorg sempat terpuruk. Rusa-rusa di halaman istana tidak terawat, dan kondisi kota secara keseluruhan memburuk. Gedung-gedung dicat hitam, dan kolam-kolam indah ditutupi semak-semak sebagai pertimbangan keamanan di masa perang, untuk menghindari pantauan udara.
Setelah Indonesia merdeka, kota Buitenzorg resmi berganti nama menjadi Kota Bogor dan perlahan kembali dibangun. Pada tahun 1963, pemerintah meresmikan pembukaan Institut Pertanian Bogor (IPB), yang merupakan pengembangan dari Fakultas Pertanian di Universitas Indonesia. Sejak tahun 1950-an, pemerintah juga mulai mengkaji rencana untuk menjadikan Bogor sebagai bagian dari pengembangan Jakarta sebagai kota metropolitan, sebuah konsep yang dikenal sebagai Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Konsep ini baru terealisasi pada tahun 1970-an seiring selesainya pembangunan tol Jakarta-Bogor.
Namun, pembangunan dan pengembangan kota Bogor sejak masa Orde Baru berlangsung tanpa perencanaan yang baik, yang menimbulkan masalah-masalah baru seperti urbanisasi dan ledakan penduduk. Penataan tata kota yang tidak efisien, kurangnya fasilitas pendukung kota, dan sistem transportasi yang buruk membuat pembangunan kota Bogor seakan tanpa arah yang jelas. Banyak kalangan merasa bahwa pembangunan dalam beberapa dekade terakhir mengabaikan aspek sejarah, budaya, dan identitas lokal Kota Bogor.
Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda pernah merancang masa depan Buitenzorg sebagai sebuah kota klasik, dan pada masa terbaiknya di abad ke-19, kota ini dijuluki “Een Indisch Paradijs” atau “sebuah surga di Hindia”. Namun, lebih dari 70 tahun setelah Indonesia merdeka, kota Bogor telah banyak berubah. Kini, citra kota Bogor yang nyaman dan lestari hanya bisa ditemukan pada litograf dan potret-potret lama yang mungkin akan semakin terlupakan seiring berjalannya waktu. Ini menjadi refleksi penting tentang bagaimana modernisasi dan urbanisasi dapat mengikis identitas historis sebuah kota jika tidak diimbangi dengan perencanaan dan pelestarian yang matang.