sandiwartaNews.com  — Reog Ponorogo dikenal luas sebagai warisan budaya yang khas dan memukau. Namun, tak banyak yang menyadari bahwa busana tradisional para pemain Reog, atasan garis merah putih, celana komprang hitam, dan penutup kepala, memiliki kemiripan mencolok dengan pakaian tradisional Madura. Apakah ini sekadar kebetulan, atau terdapat latar belakang sejarah yang menghubungkan keduanya?

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Video dokumenter terbaru yang ditayangkan di kanal budaya Nusantara mencoba menjawab pertanyaan tersebut melalui pendekatan sejarah, arkeologi, hingga penelusuran budaya lisan.

Jejak Majapahit dan Asal-Usul Penduduk Ponorogo

Mengacu pada Babad Ponorogo karya Purwowijoyo, penduduk awal Ponorogo terbentuk dari empat kelompok utama: keluarga bangsawan Majapahit (keturunan Raden Batoro Katong), santri dari Demak, keluarga dari Mbelen (Purworejo), dan komunitas asal Madura. Keempat komunitas ini sudah memeluk Islam sejak masa peralihan akhir Majapahit menuju Demak.

Salah satu tokoh sentral yang menghubungkan Ponorogo dan Madura adalah Raden Batoro Katong, pendiri Ponorogo, yang diyakini merupakan saudara seayah dengan Raden Jaran Panoleh (Joko Tole) penguasa Sumenep, Madura. Keduanya disebut sebagai putra Raja Brawijaya V dari Majapahit, dari istri yang berbeda. Hal ini dikonfirmasi oleh Babad Sumenep, Babad Tanah Jawi, serta sejumlah peneliti sejarah Jawa.

Simbol Kultural: Busana, Nilai, dan Ikatan

Kemiripan pakaian antara dua wilayah ini bukan tanpa alasan. Kombinasi garis merah putih dipercaya merupakan simbol kejayaan Majapahit. Pakaian itu menjadi bentuk warisan visual dari era kerajaan, yang diwariskan melalui jalur budaya dan keluarga.

Menurut KH. Jamaludin Ahmad dalam ceramah kebudayaannya, selain busana, kemiripan antara masyarakat Ponorogo dan Madura juga terlihat dari karakteristik sosial: keras, terbuka, berani, dan berpegang pada nilai-nilai kesetiaan. Warok Ponorogo dan pendekar Madura, meski berasal dari latar berbeda, menunjukkan semangat yang mirip dalam mempertahankan kehormatan dan budaya lokal.

Perkawinan Politik sebagai Perekat Identitas

Sebagai bagian dari strategi integrasi sosial dan politik, Raden Batoro Katong menikahi putri dari empat wilayah: Demak, Mbelen, Pamekasan (Madura), dan Niken Gandini, putri Ki Ageng Kutu dari Wengker. Keempat makam istri tersebut masih dapat ditemukan di kompleks makam Raden Batoro Katong, menjadi bukti arkeologis penting yang menunjukkan upaya pemersatu budaya dan masyarakat Ponorogo sejak awal berdirinya Kadipaten Ponorogo pada 11 Agustus 1496.

Simbol Kuda dan Mitos Lokal

Sementara di Madura, tokoh Joko Tole dikenal sakti mandraguna dengan tunggangannya bernama Megarmeng, seekor kuda sakti yang menjadi lambang Kabupaten Sumenep hingga saat ini. Kuda juga muncul dalam ikonografi Reog Ponorogo — salah satunya dalam bentuk Jathil — menunjukkan adanya pengaruh visual dan simbolik yang menyatu dari akar legenda yang sama.

Sorotan Budaya dan Sejarah:

  • Busana Tradisional: Atasan bergaris merah putih dan celana komprang hitam menjadi simbol persinggungan budaya antara Ponorogo dan Madura.
  • Empat Komunitas Awal: Majapahit, Demak, Mbelen, dan Madura menyatu menjadi fondasi demografi Ponorogo.
  • Kekerabatan Raja: Raden Batoro Katong dan Joko Tole diyakini sebagai saudara seayah dari Raja Brawijaya V.
  • Makam Istri-istri Raden Batoro Katong: Menjadi bukti arkeologis hubungan politik dan budaya antar wilayah.
  • Simbol Kuda: Dari Megarmeng milik Joko Tole hingga Jathil dalam Reog, kuda menjadi benang merah simbolik antar dua wilayah.