sandiwartanews.com – Gunung Krakatau, gugusan kepulauan vulkanik yang terletak di Selat Sunda antara Pulau Jawa dan Sumatera, telah lama menjadi simbol kedahsyatan alam dan peringatan global tentang kekuatan geologi yang tak terbendung. Secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, kepulauan ini terdiri dari empat pulau utama: Sertung, Anak Krakatau, Rakata, dan Panjang. Kawasan ini menyimpan sejarah letusan yang tak hanya mengguncang bumi, tapi juga mencetak jejak dalam sejarah umat manusia.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Jejak Sejarah yang Membahana Hingga Ujung Dunia

Letusan besar Krakatau pada 27 Agustus 1883 tercatat sebagai salah satu bencana alam paling mematikan dan ikonik dalam sejarah. Dentuman ledakannya terdengar hingga ribuan kilometer jauhnya, bahkan tercatat di barograf seluruh dunia dan mengelilingi bumi sebanyak tiga setengah kali. Tsunami besar yang menyertainya menjangkau hingga pantai timur Afrika dan Amerika Tengah. Korban jiwa resmi mencapai 36.417 orang, meskipun beberapa laporan memperkirakan angka sebenarnya bisa mencapai lebih dari 120.000 jiwa.

Ledakan tersebut melepaskan energi yang setara dengan sekitar 200 megaton TNT, atau 30.000 kali bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Abu vulkanik terlempar setinggi 80 km ke atmosfer dan menyebabkan langit dunia gelap selama berbulan-bulan. Suhu global rata-rata turun sebesar 0,4 derajat Celsius, dan fenomena matahari berwarna lavender serta bulan tampak biru atau hijau menghiasi langit di berbagai belahan dunia.

Dampak Global: Ketika Letusan Mengubah Dunia

Letusan Krakatau tidak hanya berdampak secara lokal, tetapi juga menciptakan perubahan iklim global. Langit yang gelap, matahari yang redup, dan suhu yang menurun drastis menyebabkan apa yang kemudian dikenal sebagai “musim dingin vulkanik”. Perubahan ini berdampak signifikan terhadap pertanian, ekosistem, dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat global kala itu.

Namun, letusan Krakatau bukan satu-satunya dalam sejarah geologisnya. Jauh sebelum letusan 1883, para ahli memperkirakan bahwa pada tahun 535 Masehi terjadi letusan yang jauh lebih besar dari Gunung Krakatau Purba, yang disebut dalam Kitab Pustaka Raja Purwa sebagai Gunung Batuwara. Ledakan ini diyakini mengakibatkan “tahun kegelapan” global dan bahkan turut memicu runtuhnya peradaban-peradaban besar seperti Salakanagara di Banten dan Pasemah di Sumatera.

Anak Krakatau: Lahir dari Abu, Tumbuh Menjadi Ancaman Baru

Pada tahun 1927, atau 44 tahun setelah letusan besar, muncul gunung api baru dari kaldera Krakatau yang dikenal sebagai Anak Krakatau. Gunung ini terus tumbuh melalui erupsi berulang dan kini telah mencapai ketinggian lebih dari 300 meter di atas permukaan laut. Aktivitas vulkanik Anak Krakatau menjadi perhatian serius para ahli vulkanologi, mengingat posisinya yang strategis dan potensinya menimbulkan bencana jika terjadi letusan besar kembali.

Sejak kelahirannya, Anak Krakatau telah mengalami lebih dari 100 letusan, baik efusif maupun eksplosif. Wilayah daratannya terus meluas, membentuk kerucut baru yang menandai dinamika alam yang terus berlangsung di kawasan Selat Sunda.

Warisan Ilmiah dan Ekologis yang Diakui Dunia

Krakatau dan Anak Krakatau bukan hanya simbol bencana, tetapi juga situs warisan ilmu pengetahuan dan konservasi alam. Wilayah ini ditetapkan sebagai Cagar Alam pada tahun 1921 dan mendapat pengakuan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1991. Kekayaan flora dan fauna yang berkembang di tanah vulkanik baru menjadi objek penelitian yang penting dalam memahami proses suksesi ekologis alami.

Indonesia dan Tantangan Cincin Api Pasifik

Sebagai negara dengan jumlah gunung berapi aktif terbanyak di dunia, setidaknya 130 gunung Indonesia berada di jantung Cincin Api Pasifik, zona seismik aktif akibat pertemuan Lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Hal ini menempatkan Indonesia dalam posisi unik: sebagai negeri yang kaya akan sumber daya geologis sekaligus sangat rentan terhadap bencana vulkanik dan gempa bumi.

Pemerintah, lembaga riset, dan masyarakat sipil diharapkan terus memperkuat kesadaran akan pentingnya mitigasi risiko bencana, pengembangan teknologi pemantauan aktivitas vulkanik, serta edukasi publik tentang kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi bencana geologi.