SaniWartaNews.com – Pertanyaan mengenai identitas penduduk asli Jakarta seringkali memicu perdebatan dan menjadi topik yang menarik untuk dikaji. Sejarah mencatat berbagai pendapat dan analisis mengenai asal-usul serta kelompok-kelompok yang pernah datang, menetap, dan membentuk peradaban di wilayah yang kini dikenal sebagai Jakarta. Catatan sejarah awal yang paling komprehensif mengenai asal-usul peradaban masyarakat Jakarta dimulai ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), maskapai dagang Belanda, menguasai wilayah ini dan mendirikan kota benteng bernama Batavia pada tahun 1619. Untuk membangun dan memenuhi kebutuhan kota Batavia, VOC mendatangkan sejumlah besar orang dari berbagai wilayah dan latar belakang, termasuk dari Nusantara (seperti Bali, Banda, Jawa) dan berbagai belahan dunia (seperti Tiongkok, Arab, Afrika, Eropa). Melalui interaksi yang panjang, kelompok-kelompok ini kemudian membentuk entitas suku baru yang mendiami wilayah Jakarta, yang kini dikenal sebagai suku Betawi.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Kerajaan-Kerajaan Awal di Wilayah Jakarta

Jauh sebelum VOC mendirikan Batavia pada tahun 1619, peradaban masyarakat di wilayah Jakarta diperkirakan telah ada sejak abad kedua Masehi. Berdasarkan catatan Pangeran Wangsakerta yang ditemukan pada abad ke-17, disebutkan bahwa di wilayah yang kini disebut Jakarta telah berdiri Kerajaan Salakanagara dengan corak Hindu-Buddha. Naskah Wangsakerta juga mengindikasikan bahwa relasi perdagangan di wilayah Nusantara sudah terjalin pada masa ini. Namun, perlu dicatat bahwa naskah ini ditulis pada abad ke-17, bahkan disalin pada abad ke-18 dan ke-19, sementara peristiwa yang dijelaskan terjadi pada abad pertama dan kedua Masehi. Jeda waktu yang sangat panjang antara peristiwa dan penulisan naskah menimbulkan keraguan akan keakuratan sejarahnya jika hanya bersumber dari satu referensi.

Pada akhir masa Kerajaan Salakanagara, pengaruh Hindu semakin kuat dan memengaruhi corak kerajaan selanjutnya, yaitu Tarumanegara, yang berdiri pada abad ke-5 Masehi. Penemuan sejumlah prasasti, termasuk Prasasti Tugu di Jakarta Utara, menunjukkan bahwa masyarakat yang mendiami wilayah Jakarta saat itu kemungkinan besar merupakan bagian dari penduduk Kerajaan Tarumanegara. Di bawah kepemimpinan Raja Purnawarman, wilayah kekuasaan kerajaan ini diperkirakan meliputi Banten, DKI Jakarta, Bogor, Bekasi, hingga sekitar aliran Sungai Citarum di timur. Ada juga dugaan keberadaan kerajaan pendahulu Tarumanegara bernama Aruteun, yang kemudian menjadi bagian dari wilayah Tarumanegara.

Sistem pemerintahan Tarumanegara ditafsirkan lebih rapi berdasarkan empat prasasti yang ditinggalkan, yang secara rinci menceritakan kepemimpinan Raja Purnawarman. Prasasti Tugu, khususnya, menyebutkan keberhasilan Purnawarman dalam membangun saluran air bernama Kali Gomati sepanjang sekitar 21 km. Proyek pembangunan ini membutuhkan tenaga kerja yang besar, menunjukkan bahwa penduduk Tarumanegara sudah memahami sistem perintah dan ketenagakerjaan. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Tarumanegara adalah masyarakat yang stabil dan sejahtera.

Masa Kerajaan Pajajaran dan Kedatangan Portugis

Setelah berakhirnya masa Kerajaan Tarumanegara, pada abad ke-14, wilayah Jakarta berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pakuan Pajajaran. Pada periode ini, roda perekonomian berkembang pesat, menjadikan wilayah Jakarta sebagai salah satu jalur perdagangan asing yang didominasi oleh pedagang Tiongkok. Potensi perdagangan ini menarik perhatian Portugis, yang berupaya memperluas kekuasaan mereka melalui kerja sama perdagangan. Kerja sama ini ditandai dengan pendirian benteng Portugis di Pelabuhan Sunda Kelapa.

Sebuah prasasti batu berbahasa Portugis, yang dikenal sebagai Prasasti Padrao, mencatat perjanjian antara Raja Sunda (Kerajaan Pajajaran) dengan Portugis. Perjanjian ini mengizinkan Portugis untuk membangun benteng, loji, atau gudang, serta mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak. Portugis memilih Sunda Kelapa karena Kerajaan Sunda saat itu belum memeluk Islam, berbeda dengan wilayah timur yang sudah dikuasai oleh Kesultanan Demak yang beragama Islam. Hubungan antara Portugis dan kerajaan-kerajaan Islam di Eropa memang telah lama bermusuhan. Penancapan Tugu Padrao menjadi bukti bahwa Malaka, yang telah dikuasai Portugis, akan memberikan perhatian khusus kepada wilayah Kerajaan Sunda, terutama Pelabuhan Sunda Kelapa, jika diserang oleh pasukan Islam.

Penaklukan Fatahillah dan Lahirnya Jayakarta

Hubungan antara Portugis dan Kerajaan Pajajaran dianggap sebagai ancaman oleh Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Oleh karena itu, Sultan Trenggono, penguasa Demak, menugaskan Fatahillah untuk memimpin pasukan merebut Sunda Kelapa dari kekuasaan Portugis. Pada tanggal 22 Juni 1527, Fatahillah berhasil merebut kota pelabuhan ini dan mengubah namanya menjadi Jayakarta. Tanggal peristiwa ini, di bawah kepemimpinan Gubernur Jakarta keempat, Sudiro, kemudian ditetapkan sebagai hari lahir kota Jakarta.

Namun, penetapan tanggal 22 Juni sebagai hari lahir Jakarta masih menjadi perdebatan. Beberapa pihak berpendapat bahwa nama Jayakarta sudah ada sejak masa Kerajaan Siliwangi. Selain itu, ada juga yang menilai penyerangan pasukan Fatahillah ke Sunda Kelapa sebagai bentuk pemusnahan penduduk asli Sunda Kelapa. Beberapa sejarawan menganggap penetapan tanggal ini sebagai “khayalan” yang ditugaskan oleh Wali Kota Sudiro pada tahun 1926, karena tidak ada bukti tertulis yang kuat dalam bentuk dokumen resmi, kecuali jika itu terjadi pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang memiliki catatan SK yang jelas.

Kedatangan Kesultanan Demak secara signifikan mengubah kultur agama dan komposisi masyarakat Jayakarta. Pada masa kekuasaan Portugis, masyarakat Sunda Kelapa didominasi oleh pemeluk agama Hindu, yang merupakan mayoritas penduduk Kerajaan Pajajaran. Kesultanan Demak membawa warna baru dengan penyebaran agama Islam, mengubah lanskap keagamaan di wilayah tersebut.

Pendirian Batavia dan Komposisi Penduduknya

Letak geografis Jayakarta yang sangat strategis dalam jalur perdagangan dunia menjadikannya incaran banyak pihak. VOC, atau Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda, menjadikan Jayakarta sebagai target ekspansi wilayah kekuasaan mereka. Pada tanggal 30 Mei 1619, VOC berhasil merebut kerajaan Islam ini. Di atas puing-puing kota Jayakarta, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen memerintahkan pembangunan kota benteng yang dinamai Batavia, meniru konsep tata kota Nieuw Hoorn di Belanda. Konsep kota benteng yang dibangun JP Coen adalah pemukiman yang dikelilingi tembok melingkar.

Batavia yang baru didirikan memiliki populasi yang sangat sedikit karena penduduk aslinya, termasuk orang Banten dan kelompok Muslim lainnya, pergi meninggalkan kota setelah dikuasai VOC. Oleh karena itu, Belanda harus mendatangkan penduduk dari tempat-tempat lain, dan mereka memilih untuk mendatangkan orang dari tempat yang jauh, bukan dari Jawa, Sunda, atau Banten yang dekat dengan Batavia. Hal ini karena penduduk dari wilayah terdekat dianggap berpotensi menjadi ancaman.

Penduduk kota benteng Batavia terdiri dari orang Belanda dan Eropa yang bekerja untuk VOC, serta sejumlah besar orang yang didatangkan untuk membangun dan memenuhi kebutuhan kota. Pada awal keberadaan Batavia, JP Coen mendatangkan sekitar 800 orang Tionghoa untuk bermukim dan bekerja membantu kegiatan VOC di dalam kota benteng. Mereka diizinkan tinggal di dalam tembok kota Batavia, di sebelah barat kali, dan bertugas sebagai pedagang. Pedagang Tionghoa sangat diistimewakan karena mereka adalah penggerak ekonomi utama pemerintahan kota Batavia, yang pendapatannya sebagian besar berasal dari perdagangan rempah-rempah.

Selain orang Tionghoa, VOC juga membawa sejumlah besar tawanan pribumi dari wilayah-wilayah yang mereka taklukkan, seperti Banda, Makassar, Bali, dan lain-lain, untuk dipekerjakan secara paksa di Batavia. Tawanan pribumi dari berbagai suku di Nusantara ini diperlakukan sebagai budak. Sebagian dipaksa tinggal di kawasan dalam kota benteng (Intramuros), dan sebagian lainnya ditempatkan di luar kota benteng (Omlanden). Setelah menaklukkan Pulau Banda pada tahun 1621, JP Coen membawa ribuan orang Banda ke Batavia. Mereka bermukim di kawasan yang kini dikenal sebagai Kampung Bandan, dan dipekerjakan oleh VOC untuk membangun kota benteng serta sebagai buruh pelabuhan di Pasar Ikan.

VOC juga banyak mendatangkan orang-orang dari suku Bali untuk dipekerjakan di Batavia. Jumlah orang Bali bahkan sempat mendominasi jumlah penduduk pribumi yang tinggal di dalam atau sekitar kota benteng Batavia. Sebuah catatan tahun 1683 menyebutkan bahwa di Batavia dan wilayah Omlanden terdapat 14.259 orang Bali, di mana hanya 981 orang yang berstatus merdeka, sisanya adalah budak yang dipekerjakan oleh orang Eropa. Jejak keberadaan orang Bali di Batavia masih dapat dilacak dari adanya sejumlah kawasan hunian di Jakarta yang memiliki nama Bali, seperti Kampung Bali Angke di Jakarta Barat, Balimester di Jakarta Timur, serta Kampung Bali Krukut dan Kampung Bali Tanah Abang di Jakarta Pusat. Kampung-kampung ini mewarisi semangat kosmopolitanisme dan berkontestasi dengan semangat diskriminatif dan rasialisme yang ada pada masa VOC dan setelahnya.

Permukiman orang-orang dari berbagai suku di Nusantara yang dibawa VOC ke Batavia kemudian menjadi cikal bakal kemunculan sejumlah kawasan hunian atau kampung-kampung di Jakarta, seperti Kampung Bandan, Kampung Bali, Kampung Makassar, Kampung Jawa, Kampung Manggarai, dan lain-lain. VOC sengaja mendatangkan penduduk dari luar Pulau Jawa, termasuk dari anak benua India (pantai Koromandel) yang disebut orang Mardekar, serta dari berbagai pulau lain seperti Melayu, Bali, Makassar, Bugis, dan juga dari luar Indonesia seperti Tiongkok, untuk bertempat tinggal di Batavia.

Asal Mula Suku Betawi

Pada masa kejayaan VOC di paruh kedua abad ke-17 hingga paruh pertama abad ke-18, kota benteng Batavia menjadi pusat perdagangan Asia Timur dan Selatan. Banyak orang dari berbagai wilayah Nusantara (Bali, Jawa, Makassar, dll.) dan luar Nusantara (Hadramaut/Arab, India) datang ke Batavia atas keinginan sendiri untuk berdagang atau bekerja. Kondisi ini menjadikan Batavia titik berkumpulnya orang-orang dari berbagai latar belakang suku, etnis, dan ras. Hal ini kemudian melatarbelakangi lahirnya entitas atau suku baru yang dipicu oleh percampuran orang-orang dari berbagai suku, etnis, dan ras tersebut.

Seorang pelancong Tiongkok yang mengunjungi Batavia pada abad ke-18, sebagaimana dikutip Susan Blackburn dalam bukunya “Jakarta, Sejarah 400 Tahun”, mencatat bahwa ketika orang Tiongkok menetap di luar negeri selama beberapa generasi tanpa kembali ke negara asalnya, mereka seringkali meninggalkan petuah para sesepuh dalam hal bahasa, makanan, dan pakaian, serta meniru pribumi. Mereka bahkan tidak ragu menjadi Jawa ketika masuk Islam.

Ketika VOC bubar pada akhir tahun 1799 dan pusat pemerintahan kolonial Hindia Timur dipindahkan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels ke kawasan Weltevreden atau Nieuw Batavia, proses percampuran antar orang-orang dari berbagai latar belakang suku, etnis, dan ras ini terus berlangsung, bahkan semakin intens pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda sepanjang abad ke-19. Pada masa ini, populasi penduduk Batavia meningkat pesat, dari 33.000 pada tahun 1850 menjadi 78.000 pada tahun 1900.

Pada abad ke-19, orang yang dilahirkan di Batavia lazim disebut sebagai orang Betawi, sebagai pengakuan bahwa komunitas orang-orang yang lahir di kota ini telah membentuk kelompok etnis tersendiri. Istilah “orang Betawi” pada awalnya merujuk pada orang yang tinggal di sekitar kota Batavia, meskipun kota benteng Batavia sudah runtuh pada tahun 1760-an dan pusat pemerintahan pindah ke Weltevreden. Namun, identitas “Betawi” tetap melekat pada kota dan sekitarnya.

Secara hukum, pengakuan Betawi sebagai etnik baru terjadi pada tahun 1919, ketika seorang politikus dan pejuang Betawi, Muhammad Husni Thamrin, menjadi anggota Dewan Kota (Gemeenteraad). Ia mengatasnamakan dirinya sebagai pemimpin atau wakil dari kaum pribumi, yaitu kaum Betawi, sejajar dengan kaum Jawa, Sunda, dan Minang yang ada di sekitar Batavia. Sejak saat itulah, Betawi dapat dianggap sebagai etnik atau golongan etnik.

Sejak masa kekuasaan VOC hingga masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, penduduk Batavia yang berasal dari berbagai latar belakang suku, etnis, dan ras selama ratusan tahun umumnya saling berinteraksi dengan bahasa yang sama, yaitu bahasa Melayu. Kesamaan bahasa ini mendorong mereka untuk mengidentifikasikan diri sebagai penduduk asli Batavia. Mereka berasimilasi, berakulturasi, dan berinteraksi selama bertahun-tahun menggunakan bahasa Melayu, secara tidak sengaja membentuk suatu komunitas atau masyarakat yang dinamakan masyarakat Betawi, sebagai identifikasi bahwa mereka tinggal di kota Batavia dan sekitarnya. Percampuran orang-orang pribumi Nusantara, Tiongkok, Arab, dan Eropa yang berlangsung selama ratusan tahun, termasuk melalui pernikahan antar-ras, semakin memperkuat identitas mereka sebagai penduduk asli Batavia. Oleh karena itu, pada tahun 1919, pemerintah kolonial Hindia Belanda secara resmi mengakui suku Betawi sebagai bagian dari suku bangsa yang ada di Nusantara.

Dinamika Penduduk Jakarta Pasca-Kemerdekaan

Sejak akhir abad ke-19, pertumbuhan industri di kawasan perkotaan yang dibangun pemerintah kolonial Hindia Belanda telah menarik banyak orang dari berbagai daerah untuk mencari peruntungan di kota-kota besar. Hal ini terlihat dari tingginya laju urbanisasi warga desa ke Batavia. Pada tahun 1945, tercatat ada sebanyak 600 ribu penduduk Jakarta, dengan laju pertumbuhan penduduk setiap tahunnya mencapai 100 persen. Pada tahun 1950, penduduk Jakarta tercatat sebanyak 1,75 juta orang.

Pasca tahun 1950, jumlah penduduk terbesar di Jakarta secara perlahan digantikan oleh orang Jawa, kemudian orang Betawi menjadi nomor dua, dan selanjutnya menjadi nomor tiga setelah Sunda. Proses urbanisasi pasca kembalinya ibu kota dari Yogyakarta menyebabkan Jakarta semakin padat. Kota yang dirancang hanya untuk 800 ribu jiwa ini, tiba-tiba di tahun 1950-an jumlah penduduknya sudah meningkat hampir dua kali lipat.

Di Jakarta, kelompok-kelompok suku dan etnis pendatang hidup berbaur dengan kelompok masyarakat majemuk yang sudah ada sebelumnya. Mereka membentuk masyarakat metropolitan dengan bahasa Betawi yang diperbaharui sebagai alat komunikasi antar kelompok penduduk Jakarta. Orang-orang pendatang yang bergabung dan hidup berbaur dengan para pendatang lain yang telah ada inilah yang kini menjadi warga asli Jakarta. Proses urbanisasi sejak awal pembentukan orang Jakarta atau orang Betawi menunjukkan bahwa mereka secara perlahan meninggalkan etnisitas asli mereka, mengambil yang terbaik dari etnisitas tersebut, dan menyumbangkannya untuk membentuk sebuah kebudayaan baru yang unik.

Kesimpulan: Siapakah Penduduk Asli Jakarta?

Menjawab siapa penduduk asli Jakarta membutuhkan pemahaman yang komprehensif terhadap sejarah panjang pembentukan kota ini. Sejak masa kerajaan awal seperti Salakanagara dan Tarumanegara, hingga kolonisasi VOC dan pembentukan Batavia, wilayah Jakarta telah menjadi titik temu berbagai etnis, budaya, dan ras. Proses panjang percampuran penduduk dari berbagai penjuru Nusantara dan mancanegara inilah yang kemudian melahirkan entitas sosial-budaya baru yang dikenal sebagai suku Betawi.

Secara historis dan hukum, suku Betawi diakui sebagai representasi etnis asli Jakarta sejak awal abad ke-20. Namun dalam konteks kekinian, identitas “warga asli Jakarta” juga dibentuk oleh proses asimilasi dan urbanisasi yang terus berlangsung. Jakarta hari ini bukan hanya rumah bagi suku Betawi, tetapi juga bagi seluruh warga yang membangun dan berkontribusi bagi kota ini, tanpa membedakan asal-usul etnisnya.