SadiWartaNews.com – TANGERANG SELATAN – Di balik gedung-gedung pencakar langit dan kawasan bisnis elite yang kini berdiri megah, Serpong menyimpan kisah panjang yang bermula dari sebuah hutan belantara yang angker. Sebelum abad ke-19, wilayah ini adalah daerah tak tersentuh, dihuni harimau liar dan dikenal karena kekayaan sumber daya alam seperti kayu bakar dan akar-akaran. Sungai Cisadane, yang mengalir di dekatnya, menjadi urat nadi kehidupan dan jalur utama transportasi antar kampung.
Asal-Usul Nama Serpong: Legenda Semprong dan Tradisi Lokal
Kisah rakyat yang beredar di kalangan warga menyebutkan bahwa nama Serpong berasal dari istilah “semprong”, alat tiup tradisional dari bambu untuk menghidupkan bara api. Dalam satu kisah, saat kemarau panjang melanda dan persediaan kayu bakar kering menipis, seorang warga membuat alat dari gulungan daun pisang sepanjang 30 meter untuk menyalakan api. Alat ini menyerupai semprong. Sejak saat itu, kampung tempat peristiwa itu terjadi dikenal sebagai Kampung Semprong, yang lambat laun berubah pelafalannya menjadi Serpong.
Dalam catatan Bawe Sastra Jawa (1939) oleh Wayne JS Por Wadarmta, istilah semprong merujuk pada bumbungan bambu untuk meniup api, membuktikan keterkaitan antara nama Serpong dengan praktik budaya masyarakat Jawa yang menetap di wilayah ini.
Perjalanan Status Administratif dan Dinamika Sejarah
Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942, Serpong tidak dijadikan pusat administrasi, melainkan kembali digunakan istilah “Kademangan” sebagai satuan wilayah. Namun demikian, masyarakat tetap lebih akrab menyebut daerah ini sebagai Serpong. Nama tersebut semakin populer ketika warga keliru menyebut pembangunan pipa gas Jepang yang disebut “cerobong” sebagai “Serpong”, dan istilah ini kemudian menjadi nama resmi yang digunakan hingga kini.
Usai proklamasi kemerdekaan pada 1945, Serpong diakui sebagai kecamatan resmi di Kabupaten Tangerang. Perubahan status administratif ini menandai awal dari transformasi Serpong sebagai bagian dari struktur pemerintahan Republik Indonesia.
Transformasi Ekonomi: Dari Perkebunan Karet ke Kota Mandiri
Hingga akhir 1980-an, Serpong dikenal sebagai kawasan perkebunan karet dengan kondisi infrastruktur yang terbatas. Jalan-jalan tanah sering kali berubah menjadi kubangan saat hujan dan berdebu di musim kemarau.
Perubahan besar terjadi pada tahun 1989 ketika pengembang Ciputra mulai membangun kawasan Bumi Serpong Damai (BSD). Dengan izin lokasi seluas 6.000 hektare, BSD dirancang sebagai kota mandiri yang mencakup perumahan, pusat pendidikan, komersial, dan ruang terbuka hijau. Meski sempat terhenti akibat krisis moneter 1997, pembangunan berlanjut setelah proyek diakuisisi oleh Sinar Mas Land pada 2003 dan berganti nama menjadi BSD City.
Kini, kawasan Serpong telah menjelma menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan pemukiman elite di Jabodetabek, dilengkapi mall-mall besar (AEON Mall, Summarecon Mall Serpong), universitas unggulan, hotel, restoran internasional, serta pusat perkantoran dan bisnis modern.
Serpong dalam Sejarah Perjuangan Bangsa
Serpong tak hanya berkembang secara ekonomi, tapi juga mencatatkan peran penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. Pada 23 Mei 1946, terjadi pertempuran sengit antara laskar rakyat perbatasan Tangerang-Banten melawan pasukan Belanda yang berusaha merebut kembali wilayah strategis pasca proklamasi.
Tokoh seperti Kyai Ibrahim Abu disebut berperan dalam mempertahankan wilayah ini. Meskipun kalah dalam persenjataan, semangat rakyat Serpong menjadi simbol perjuangan yang tak pernah padam.
Warisan Sejarah dan Monumen Perjuangan
Beberapa situs dan tugu peringatan masih berdiri di Serpong sebagai saksi sejarah:
- Monumen Palagan Lengkong: Mengenang peristiwa 25 Januari 1946, saat Mayor Daan Mogot dan para kadet gugur saat merebut senjata dari tentara Jepang. Lokasinya di Lengkong Wetan, Serpong.
- Tugu Perjuangan Rakyat Serpong: Dibangun 27 Desember 1949, tugu ini menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap Belanda. Kini telah direnovasi oleh Pemkot Tangerang Selatan.
- Klenteng Boen Hay Bio: Didirikan tahun 1694 dan menjadi salah satu klenteng tertua di Serpong. Selain sebagai tempat ibadah, klenteng ini menjadi pusat kegiatan sosial dan budaya masyarakat Tionghoa.
Serpong Hari Ini: Dinamika Kota Metropolitan
Sebagai salah satu kecamatan di Kota Tangerang Selatan, Serpong kini menempati posisi strategis dalam pembangunan kawasan metropolitan. Dengan jumlah penduduk mencapai 163.451 jiwa (2023) dan tingkat kepadatan 9.991 jiwa per km², Serpong mencerminkan wajah urban Indonesia yang plural dan dinamis.
Komposisi masyarakat Serpong pun beragam: mayoritas Islam (81,70%), disusul Kristen (15,87%), Buddha (2,10%), Hindu (0,22%), dan Konghucu (0,11%). Keberagaman ini menjadikan Serpong sebagai simbol toleransi dan harmoni di tengah pesatnya urbanisasi.