sandiwartanews.com – Lumut sering kali dianggap sebagai tanaman liar yang mengganggu pemandangan. Namun di balik penampilannya yang sederhana, lumut menyimpan potensi besar dalam membantu menghadapi krisis iklim yang kian mengancam kehidupan di perkotaan.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Berbeda dengan tanaman konvensional, lumut memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida (CO₂) hingga empat kali lebih banyak dibandingkan pohon. Lumut juga tidak memerlukan tanah untuk tumbuh, dan mampu berkembang di berbagai permukaan keras seperti dinding, atap, hingga beton. Sifat ini membuatnya sangat cocok diterapkan di kota-kota besar yang minim ruang terbuka hijau dan menghadapi masalah panas berlebih serta polusi udara.

Selain menyerap karbon, lumut juga membantu menjaga kelembapan tanah dan meningkatkan kualitas ekosistem mikro di sekitarnya. Studi ilmiah yang dipublikasikan dalam Nature Geoscience pada tahun 2022 mencatat bahwa lumut di permukaan tanah global menyimpan sekitar 6,43 miliar ton karbon, angka yang hampir setara dengan total emisi CO₂ global dalam setahun. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa keberadaan lumut mampu meredam suhu lingkungan, memperkuat daya serap air tanah, serta mendukung kehidupan mikroorganisme yang penting dalam keseimbangan ekosistem.

Sayangnya, peran ekologis lumut kerap diabaikan. Banyak pihak masih menganggap lumut sebagai gangguan yang harus dibersihkan, padahal justru keberadaannya dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan solusi hijau yang alami, murah, dan efektif di lingkungan perkotaan.

Dengan perubahan iklim yang kian ekstrem dan meningkatnya kebutuhan akan solusi ramah lingkungan, integrasi lumut dalam desain perkotaan layak dipertimbangkan. Pemanfaatan lumut tidak hanya mendukung pelestarian lingkungan, tetapi juga berkontribusi nyata dalam menciptakan kota yang lebih sehat, sejuk, dan berkelanjutan.