Editorial | Oleh: Redaksi SadiWartaNews
Di tengah laju deras arus globalisasi dan komersialisasi yang makin menyusup ke berbagai aspek kehidupan, kebudayaan bukan lagi semata warisan, melainkan menjadi medan perlawanan. Perlawanan terhadap pelupaan, perlawanan terhadap homogenisasi gaya hidup, dan perlawanan terhadap penjajahan kultural yang kerap hadir dalam kemasan modernitas yang memikat.
Budaya lokal hari ini dihadapkan pada tantangan besar: kehilangan ruang hidup di tengah dominasi budaya populer yang didorong oleh kepentingan pasar. Bahasa daerah mulai ditinggalkan, upacara adat disederhanakan bahkan dilupakan, dan seni tradisi kerap hanya dihadirkan dalam bentuk pertunjukan formal untuk wisata, bukan lagi sebagai ekspresi jiwa komunitas.
Fenomena ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Komersialisasi yang menjadikan segala hal dapat diperjualbelikan telah merampas kesakralan budaya, mengubahnya menjadi sekadar komoditas. Ketika budaya hanya dipandang dari sudut pandang nilai jual, maka jati diri pun perlahan dikikis.
Namun demikian, di tengah tekanan tersebut, berbagai komunitas budaya, seniman lokal, dan pelestari tradisi justru menunjukkan bahwa budaya bukanlah sesuatu yang pasif. Budaya adalah bentuk perlawanan. Ia mampu menjadi wadah untuk mempertahankan identitas, menjaga nilai-nilai luhur, serta menolak hegemoni budaya luar yang mengikis kearifan lokal.
Merawat budaya adalah tindakan sadar. Ia adalah pilihan politik, sosial, dan spiritual untuk tetap berpijak pada akar. Dalam konteks ini, pendidikan budaya di sekolah-sekolah, festival tradisi berbasis komunitas, serta revitalisasi bahasa dan kesenian lokal menjadi strategi penting dalam membangun ketahanan budaya bangsa.
Kita harus menyadari bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal dan menghormati jati dirinya. Bukan berarti menutup diri dari perkembangan zaman, tetapi memastikan bahwa budaya lokal tidak hanya menjadi penonton di panggung sendiri. Budaya harus tetap hidup, berkembang, dan menjadi dasar dalam menyaring berbagai pengaruh luar.
Mengajak publik untuk kembali memaknai budaya sebagai bentuk perlawanan bukan berarti anti-modernitas. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk bijak dalam memaknai kemajuan. Masyarakat harus menjadi subjek dalam arus perubahan, bukan objek pasif yang dibentuk oleh narasi dominan dari luar.
Kebudayaan bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana kita membentuk masa depan. Di sinilah pentingnya peran media, pendidikan, dan kebijakan publik dalam memastikan bahwa nilai-nilai budaya tidak tersingkir dari ruang sosial kita.
Sebagai media yang berpijak pada prinsip keberagaman dan keadaban, kami percaya bahwa budaya adalah alat paling kuat untuk membangun bangsa yang bermartabat. Mari kita rawat, pelajari, dan hidupkan kembali kekayaan budaya kita bukan sebagai romantisme masa lalu, tetapi sebagai kompas yang menuntun kita di masa depan.
Editorial ini merupakan bagian dari komitmen redaksi dalam mengangkat isu-isu strategis yang menyangkut identitas bangsa dan kepentingan publik. Kami menjunjung tinggi prinsip keberimbangan, kejujuran, dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik.