sandiwartanews.com – Sejarah penyebaran Islam di Yogyakarta adalah perjalanan panjang yang sarat makna dimulai dari berdirinya Kerajaan Mataram Islam di Kota Gede pada abad ke-16, hingga munculnya inisiatif dakwah inklusif di era modern seperti Pondok Pesantren Darul Asom untuk santri tunarungu. Kisah ini menegaskan peran agama dalam membentuk karakter budaya, sosial, dan spiritual masyarakat Yogyakarta secara menyeluruh.
Awal Jejak Islam di Tanah Mataram
Jejak penyebaran Islam di wilayah ini sesungguhnya telah ada sejak abad ke-15. Para wali, terutama Sunan Kalijaga, memainkan peran penting dengan pendekatan dakwah berbasis budaya dan seni. Strategi ini kemudian diteruskan oleh Ki Ageng Pemanahan, yang kelak membangun pusat pemerintahan Mataram Islam di Kota Gede.
Salah satu warisan monumental dari era ini adalah Masjid Agung Mataram Kota Gede, dibangun pada tahun 1587. Arsitekturnya yang khas Jawa berbentuk limasan menyimpan filosofi Islam, seperti lima susun gapura yang merepresentasikan lima rukun Islam. Pakaian adat seperti baju peranakan yang dikenakan dalam kegiatan keagamaan pun mencerminkan nilai-nilai spiritual tersebut.
Tradisi Kerajaan yang Terus Hidup
Islam dan budaya Jawa kian erat menyatu lewat tradisi nyadran atau nyekar yang masih dijalankan hingga kini. Setiap tanggal 15 bulan Ruwah dalam kalender Jawa, abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat melakukan ziarah ke makam para leluhur Mataram Islam, seperti Ki Ageng Pemanahan dan Panembahan Senopati. Prosesi ini dipimpin oleh kaum rois atau pendoa yang telah menempuh pendidikan khusus keagamaan.
Ziarah tersebut mencerminkan penghormatan terhadap leluhur sekaligus menjaga kesinambungan tradisi spiritual yang telah diwariskan lintas generasi.
Masjid Gede: Simbol Spiritualitas dan Kekuatan Kerajaan
Pasca Perjanjian Giyanti tahun 1755, berdirilah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Sri Sultan Hamengku Buwono I membangun Masjid Gede Keraton pada tahun 1773. Masjid ini tidak hanya menjadi pusat ibadah, tetapi juga simbol kerajaan Islam. Serambi masjid dihiasi lima warna dominan yang melambangkan lima waktu salat, sementara ruang inti masjid tampil sederhana namun elegan, dihiasi sentuhan warna emas—menandakan kekuatan dan kemuliaan spiritual.
Empat Masjid Patok Negara: Penjaga Spiritual Wilayah
Dalam sistem tata kota Keraton Yogyakarta, terdapat empat masjid patok negara yang berfungsi sebagai penanda spiritual di setiap penjuru mata angin:
- Masjid Annur Melangi (Barat),
- Masjid Sultani Pelosok Kuning (Utara),
- Masjid Addaroajat Babadan (Timur), dan
- Masjid Nurul Huda Dongkelan (Selatan).
Masjid Annur Melangi, yang dibangun pada tahun 1723 oleh Kiai Nur Iman kakak Sultan Hamengku Buwono I tercatat lebih tua dari Masjid Gede Keraton. Kiai Nur Iman memilih jalan dakwah di dusun Melangi yang kemudian berkembang menjadi “desa pesantren” dengan lebih dari 17 pesantren aktif yang mengajarkan ilmu agama dan nilai karakter.
Seni dan Dakwah: Tari Rodat sebagai Ekspresi Keimanan
Selain pengajaran agama, dusun Melangi juga melestarikan tari rodat, sebuah seni pertunjukan religius yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja laki-laki sebagai bentuk ekspresi cinta kepada Rasulullah. Seni ini mencerminkan keberhasilan pendekatan budaya dalam dakwah Islam yang telah dirintis sejak masa para wali.
Pesantren Inklusif untuk Santri Tunarungu
Menjawab tantangan zaman, muncul inisiatif baru seperti Pondok Pesantren Darul Asom, didirikan tahun 2019 oleh Ustaz Abu Kahfi untuk para santri tunarungu. Pesantren ini menggunakan bahasa isyarat dalam pengajaran Al-Qur’an dan ilmu agama, membuka akses spiritual bagi kalangan difabel yang sebelumnya kurang terjangkau oleh sistem pendidikan keagamaan konvensional.
Ustaz Abu Kahfi, yang pernah menimba ilmu di Mekkah dan Madinah, mengembangkan metode pengajaran ini agar santri dengan keterbatasan pendengaran pun tetap bisa menghafal Al-Qur’an dan memahami ajaran Islam secara utuh.
Refleksi: Islam yang Membumi dan Terus Bertumbuh
Sejarah Islam di Yogyakarta menggambarkan bagaimana agama bisa membaur dengan kearifan lokal, menjadikan budaya sebagai media dakwah yang efektif. Penyebaran Islam di tanah Mataram tidak berlangsung secara konfrontatif, tetapi melalui pendekatan persuasif dan edukatif. Dari arsitektur masjid hingga tradisi ziarah, dari tari rodat hingga pesantren tunarungu semuanya membuktikan bahwa Islam hadir sebagai kekuatan budaya, sosial, dan spiritual yang adaptif dan inklusif.