sandiwartanews.com – Candi Prambanan yang berdiri megah di Desa Karangasem, Sleman, Yogyakarta, bukan hanya merupakan warisan budaya dunia, tetapi juga simbol kejayaan peradaban Hindu di Nusantara, khususnya pada masa Kerajaan Mataram Kuno di abad ke-9 Masehi. Keberadaan candi ini menjadi penanda penting kemajuan teknologi, seni, dan tata kelola pemerintahan masa lampau yang telah berkembang jauh sebelum era modern.
Sejarah mencatat, perkembangan agama dan peradaban Hindu di wilayah Nusantara mulai tampak sejak abad ke-4 Masehi. Pada abad ke-5 dan seterusnya, beberapa kerajaan bercorak Hindu mulai berdiri, termasuk Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah. Puncak kejayaan kerajaan ini terjadi pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya. Salah satu peninggalan terpenting masa itu adalah Candi Prambanan, yang disebut dalam Prasasti Siwagrha (856 Masehi) sebagai persembahan kepada Trimurti: Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Arsitektur dan Kompleksitas Candi
Kompleks Candi Prambanan mencakup luas sekitar 49.284 meter persegi dan terdiri atas tiga halaman utama. Di halaman pusat yang dianggap paling suci, berdiri 16 candi, termasuk tiga candi utama (Siwa, Brahma, dan Wisnu), ditambah candi wahana, candi apit, candi kelir, dan candi patok. Di halaman kedua, terdapat sisa-sisa dari 224 candi perwara yang lebih kecil. Meskipun halaman ketiga tidak ditemukan struktur candi, beberapa peneliti menduga bahwa dulunya area ini memiliki fungsi khusus, seperti tempat petirtaan.
Struktur arsitektural Prambanan menunjukkan kemajuan teknik pembangunan masa itu. Sistem sambungan batu tanpa perekat (interlocking stone system) mampu menahan guncangan gempa lebih baik dibandingkan metode pemugaran awal oleh pemerintah kolonial Belanda yang menggunakan semen.
Sumber Sejarah dan Naskah Terkait
Selain prasasti, keberadaan Candi Prambanan juga diperkuat dengan naskah Kakawin Ramayana yang ditulis pada masa pemerintahan Dyah Balitung sekitar tahun 870 M. Alur cerita dalam naskah tersebut sangat sesuai dengan relief yang ditemukan di Candi Siwa dan Brahma. Salinan naskah ini ditemukan di kawasan Gunung Merapi-Merbabu dan menjadi bagian dari koleksi naskah-naskah Hindu yang dibawa ke Batavia pada abad ke-19.
Masa Kemunduran dan Penemuan Kembali
Setelah memasuki abad ke-10, pusat Kerajaan Mataram Kuno dipindahkan ke Jawa Timur oleh Empu Sendok. Diduga kuat, faktor geologis seperti letusan Gunung Merapi berperan dalam keputusan ini. Seiring waktu, Candi Prambanan terbengkalai, tertutup semak belukar, dan sebagian hancur akibat bencana alam. Pemindahan pusat kekuasaan juga menyebabkan berkurangnya dukungan terhadap keberlangsungan fungsi candi.
Candi ini ditemukan kembali pada tahun 1733 oleh C. A. Lons. Penemuan tersebut dilaporkan kepada pemerintah kolonial, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Colin Mackenzie, utusan Sir Stamford Raffles. Raffles memuat deskripsi tentang Prambanan dalam bukunya The History of Java (1817), mencatat kondisi bangunan yang telah rapuh dan rusak parah.
Pemugaran sistematis baru dimulai tahun 1918 oleh Oudheidkundige Dienst (Lembaga Kepurbakalaan Hindia Belanda). Beberapa bagian candi direkonstruksi ulang berdasarkan catatan arkeologis, meskipun masih menyisakan tantangan dalam menjaga keaslian struktur dan material aslinya.
Simbol Toleransi dan Keagungan Nusantara
Candi Prambanan tidak berdiri sendiri. Di sekitarnya terdapat kompleks candi Buddha Mahayana seperti Candi Sewu, Lumbung, dan Bubrah. Kedekatan antara candi-candi bercorak Hindu dan Buddha ini menjadi bukti kuat bahwa praktik toleransi antarumat beragama telah tumbuh sejak masa lampau. Interaksi spiritual tersebut dipercaya menjadi sumber kedamaian dan keagungan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat kuno di Jawa Tengah.
Warisan Budaya dan Kesadaran Kolektif
Penemuan artefak emas di Wonoboyo, Klaten, serta sekitar 130 prasasti yang tersebar di kawasan Prambanan menguatkan indikasi bahwa kawasan ini dahulu merupakan pusat kehidupan yang terorganisir, dengan sistem pemerintahan yang kompleks. Prasasti-prasasti tersebut kebanyakan mengatur tentang pengelolaan daerah Sima (otonom) yang diberi hak istimewa oleh raja, termasuk pengelolaan pajak dan sumber daya.
Candi Prambanan saat ini telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO, sekaligus menjadi pusat ziarah spiritual dan destinasi budaya. Fungsinya telah bergeser dari tempat pemujaan ke pusat refleksi sejarah dan identitas kebangsaan.
Wawasan Redaksi:
- Candi Prambanan bukan hanya simbol spiritual, tetapi juga refleksi kekuatan politik, kemajuan teknologi, dan nilai toleransi yang hidup di masa lalu.
- Melalui pelestarian warisan sejarah seperti Prambanan, bangsa Indonesia diajak untuk menghargai akar budayanya serta menjaga keberagaman yang telah mengakar kuat dalam perjalanan sejarah.
- Penting bagi generasi saat ini untuk merawat dan mengenali kembali nilai-nilai luhur yang tercermin dalam peninggalan peradaban kuno.
Redaksi mengimbau pembaca untuk menjadikan situs-situs sejarah seperti Prambanan bukan sekadar objek wisata, tetapi juga ruang kontemplasi atas perjalanan panjang bangsa dalam membangun jati diri, spiritualitas, dan keberadaban.