sandiwartanews.com – Bahasa Cirebon yang lahir dari perpaduan sembilan suku kini terancam punah di tengah arus modernisasi dan minimnya pelestarian di dunia pendidikan formal. Keberagaman budaya di Nusantara tak lepas dari kekayaan bahasa daerah yang menjadi identitas sekaligus sarana pewarisan nilai-nilai luhur masyarakat. Salah satu yang memiliki karakter unik adalah Bahasa Cirebon, yang hingga kini masih digunakan oleh sebagian masyarakat di pesisir utara Jawa Barat, terutama di wilayah Cirebon. Sayangnya, bahasa yang lahir dari akulturasi budaya ini kini menghadapi ancaman kepunahan.
Bahasa Cirebon kerap kali disalahpahami sebagai bagian dari Bahasa Sunda atau Jawa. Namun, karakter dan sejarahnya berbeda. Bagi masyarakat Sunda, bahasa ini dianggap lebih dekat ke Bahasa Jawa karena banyaknya kosakata yang serupa. Sementara bagi masyarakat Jawa Tengah dan Timur, bahasa Cirebon terdengar asing dan cenderung mendekati dialek Sunda.
“Bahasa Cirebon itu unik, karena lahir dari percampuran budaya sejak masa awal terbentuknya daerah Caruban, atau yang kini kita kenal sebagai Cirebon,” ungkap seorang budayawan lokal.
Menurut catatan sejarah, Cirebon dahulu bernama Caruban, yang berarti campuran. Nama ini lahir dari kesepakatan sembilan suku yang menghuni wilayah pesisir yang kini dikenal sebagai Lemahwungkuk. Pada masa itu, komunitas tersebut hidup berdampingan dan menciptakan satu sistem sosial dan budaya yang khas, termasuk bahasanya. Proses ini didukung oleh kepemimpinan Kuwu pertama Ki Gede Alang-alang dan dilanjutkan oleh Mbah Kuwu Cirebon, atau Pangeran Cakrabuana.
Bahasa Cirebon kemudian diresmikan menjadi bahasa Caruban Nagari setelah daerah ini memisahkan diri dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran pada 2 April 1482, yang kini diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.
Tak hanya kaya sejarah, Bahasa Cirebon juga menyerap banyak kosakata dari berbagai budaya seperti Arab, Portugis, hingga Tionghoa. Misalnya, kata “bongko” (makanan yang dibungkus daun dan direbus) diyakini berasal dari pengaruh Cina.
Namun, kekhawatiran muncul ketika keberadaan bahasa ini makin jarang diajarkan secara formal di sekolah-sekolah. Generasi muda kini cenderung lebih akrab dengan Bahasa Indonesia atau Sunda, dan sebagian besar sudah tak memahami atau menggunakan kosakata khas Cirebon seperti “senajan” (walaupun), “aja ngecet-ngecet” (jangan sok), hingga dialek khas Plered yang menggunakan akhiran “-o”.
“Bahasa daerah itu disebut sebagai bahasa ibu. Kalau penggunaannya tidak dijaga, ia bisa hilang secara perlahan,” tambah narasumber.
Meski demikian, masih ada titik-titik harapan. Sejumlah pesantren, lingkungan keraton, serta masyarakat yang memegang teguh tradisi, masih aktif menggunakan Bahasa Cirebon, termasuk ragam krama dan ngoko-nya.
Pelestarian bahasa daerah seperti Bahasa Cirebon membutuhkan perhatian bersama, baik dari pemerintah daerah, institusi pendidikan, maupun masyarakat. Sebab, di balik setiap bahasa, terdapat sejarah panjang, filosofi hidup, dan jati diri suatu bangsa.