Editorial | Oleh: Redaksi SadiWartaNews
Globalisasi dan perkembangan zaman sejatinya adalah keniscayaan. Namun dalam arus deras modernitas, kita dihadapkan pada kenyataan pahit: satu per satu tradisi luhur warisan leluhur bangsa mulai tersisih, bahkan terancam lenyap. Ironisnya, perubahan ini seringkali terjadi tanpa disadari dan tanpa perlawanan yang berarti.
Di berbagai pelosok nusantara, ritual adat, seni pertunjukan tradisional, hingga bahasa daerah semakin jarang dijumpai. Sebagian besar generasi muda kini tumbuh dengan nilai-nilai baru yang serba instan dan seragam, menjauh dari akar budaya lokal yang sejatinya membentuk jati diri mereka.
Modernisasi memang menawarkan kemudahan dan efisiensi. Namun ketika modernitas datang tanpa penguatan identitas budaya, maka yang terjadi adalah proses pengikisan nilai—sebuah degradasi warisan yang sulit dipulihkan. Kita menyaksikan bagaimana gedung pencakar langit menggantikan pendopo adat, pusat perbelanjaan menggusur alun-alun budaya, dan algoritma media sosial menggantikan ruang-ruang komunikasi lintas generasi.
Kasus Nyata: Tradisi Tayub dan Pencak Silat Mulai Tergerus
Di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya, tradisi tayub yang dahulu menjadi bagian penting dalam hajatan masyarakat desa kini mulai ditinggalkan. Stigma modern yang menilainya sebagai bentuk hiburan kuno membuat tayub tak lagi diminati, bahkan dianggap tidak relevan.
Sementara itu, di beberapa daerah, kegiatan pencak silat tradisional sebagai seni bela diri dan warisan spiritual leluhur mulai kekurangan generasi penerus. Banyak padepokan tutup karena tidak adanya minat dari kalangan muda, yang lebih tertarik dengan hiburan digital atau olahraga populer ala barat. Tak jarang, peralatan latihan dan tempat berkumpul pegiat silat digantikan oleh bangunan semi-komersial atau fasilitas modern lainnya.
Kondisi ini bukan semata akibat ketidakpedulian masyarakat, tetapi juga karena belum adanya sistem perlindungan budaya yang kuat di tingkat lokal. Upaya pelestarian cenderung sporadis, tanpa dukungan anggaran yang memadai dan tanpa strategi lintas generasi yang berkelanjutan.
Saatnya Mengarusutamakan Kearifan Lokal
Sebagai bangsa besar yang berlandaskan kebhinekaan, Indonesia semestinya tidak membiarkan budaya lokal hanya menjadi sekadar catatan sejarah. Sebaliknya, tradisi harus tetap hidup—diwariskan, dilestarikan, dan dikembangkan secara kontekstual. Pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas budaya, serta media massa memiliki peran krusial dalam memastikan keberlangsungan budaya nusantara di tengah arus global.
Redaksi percaya bahwa kemajuan dan kearifan lokal tidaklah saling bertentangan. Justru dalam semangat integratif, modernitas dapat dipadukan dengan nilai-nilai tradisional agar menghasilkan masyarakat yang beradab, berakar kuat namun tetap mampu menjawab tantangan zaman.
Saatnya kita tidak hanya bertanya “apa yang sedang hilang?”, tapi juga menegaskan “apa yang ingin kita wariskan?”. Menyelamatkan budaya bukanlah soal nostalgia, tapi soal menjaga keberlanjutan bangsa.