Sandiwartanews.com –Kuningan Sebuah kisah memilukan terungkap dalam sebuah unggahan video pada Kamis (12/6/2025), ketika Dedi Mulyadi berdialog dengan Purwanti, seorang gadis remaja dari Desa Bunder, Kuningan. Dalam percakapan tersebut, Purwanti mengisahkan getirnya hidupnya setelah ditinggalkan ibunya yang meninggal dunia karena gantung diri, serta minimnya tanggung jawab sang ayah yang kini berjualan nasi goreng di Jakarta.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Kisah pilu Purwanti ini menyoroti bagaimana seorang remaja harus berjuang untuk melanjutkan pendidikannya di tengah ketiadaan dukungan finansial dari ayahnya dan peran sang ibu yang telah tiada. Ia menjadi tumpuan bagi adik-adiknya, dengan nenek dan bibinya berjuang keras untuk menghidupi mereka.

Tokoh utama dalam kisah ini adalah Purwanti, seorang siswi SMPN 1 Cidahu. Ada juga Dedi Mulyadi yang melakukan wawancara, ayah Purwanti yang disebut-sebut tidak bertanggung jawab, ibu Purwanti yang meninggal dunia, serta nenek dan bibi Purwanti yang kini menjadi tulang punggung keluarga. Adik-adik Purwanti yang berusia SD dan 3 tahun juga turut menjadi bagian dari kisah ini.

Kisah ini terungkap melalui unggahan video pada Kamis, 12 Juni 2025.

Purwanti berasal dari Desa Bunder, Kuningan. Ia bersekolah di SMPN 1 Cidahu. Ayahnya berada di Jakarta berjualan nasi goreng. Saat ini, Purwanti dan adik-adiknya tinggal bersama neneknya.

Kisah ini menjadi pilu karena Purwanti dan adik-adiknya hidup dalam keterbatasan ekonomi dan minimnya perhatian dari sang ayah. Ayah Purwanti jarang mengirimkan uang untuk biaya sekolah, bahkan terkesan menelantarkan anak-anaknya. Ibunya meninggal dunia karena gantung diri setelah mengeluh tidak memiliki uang, yang mengindikasikan bahwa masalah finansial dan kurangnya tanggung jawab dari sang ayah telah menjadi beban berat dalam keluarga. Purwanti, sebagai anak tertua, harus memikul beban yang seharusnya belum menjadi tanggung jawabnya.

Dalam dialognya dengan Dedi Mulyadi, Purwanti menceritakan bahwa ayahnya hanya sesekali mengirimkan uang, itupun jumlahnya tidak mencukupi. Terakhir, ayahnya hanya mengirim Rp 150.000 sebulan dan kemudian tidak mengirim lagi selama dua bulan. Purwanti bahkan mengaku sudah tidak percaya lagi kepada ayahnya. Nenek dan bibinya, meskipun dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan, berusaha keras untuk membiayai Purwanti dan kedua adiknya, termasuk adik Purwanti yang berusia 3 tahun yang ditinggal ibunya pada usia 2 tahun dan adiknya 1 lagi yang kelas 2 yang sedang bersekolah di SDN bunder . Beban hidup ini menunjukkan betapa sulitnya perjuangan mereka untuk bertahan dan melanjutkan pendidikan.

Alhamdulilah nya purwanti bisa melanjutkan dan sudah daptar di sekolah di SMA 1 cidahu di bantu oleh kepala sekolah, Purwanti mengingat kata kata almarhum ibunya sebisa mungkin jangan sampai putus sekolah.