Sandiwartanews.com, Kuningan, Jawa Barat – Dalam balutan kesederhanaan yang sarat makna, Peringatan Seren Taun 22 Rayagung 1958 Saka Sunda kembali mengukuhkan eksistensinya di Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Meski diselenggarakan dalam suasana berkabung, inti spiritual dan filosofi luhur tradisi tahunan ini tak sedikit pun pudar, justru kian terpancar di tengah masyarakat.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Peringatan Seren Taun adalah sebuah festival panen tradisional masyarakat Sunda, khususnya di Cigugur, Kuningan, yang melambangkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi melimpah dan memohon keberkahan di masa mendatang. Tahun ini, perayaan ke-22 Rayagung 1958 Saka Sunda tetap digelar, meski dengan nuansa yang lebih khidmat dan sederhana.

Acara ini dihadiri oleh Hj. Tuti Andriani, S.H., M.Kn., Wakil Bupati Kuningan, beserta jajaran pejabat lintas sektor seperti Kabid Pemasaran Disporapar, Kabid Kebudayaan, Kabid Kesehatan Masyarakat, dan Camat Cigugur. Turut hadir dan menjadi pusat perhatian adalah Abah Subrata, Sesepuh Paseban Tri Panca Tunggal, yang menguraikan makna mendalam setiap prosesi.

Doc . Masyarakat, dan Camat Cigugur. Turut hadir dan menjadi pusat perhatian adalah Abah Subrata, Sesepuh Paseban Tri Panca
Doc . Masyarakat, dan Camat Cigugur. Turut hadir dan menjadi pusat perhatian adalah Abah Subrata, Sesepuh Paseban Tri Panca

Peringatan Seren Taun 22 Rayagung 1958 Saka Sunda ini diselenggarakan baru-baru ini di Cigugur, Kuningan. Sebagai tradisi tahunan, perayaan ini secara konsisten menjadi penanda waktu panen dan syukuran masyarakat adat setempat.

Lokasi penyelenggaraan adalah Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, sebuah pusat budaya dan spiritual yang menjadi jantung pelestarian tradisi Sunda di wilayah tersebut.

Meskipun dalam suasana berkabung dan digelar sederhana, esensi Seren Taun tetap dipertahankan. Seperti yang ditegaskan oleh Wakil Bupati Kuningan, “Walau digelar sederhana, nilai luhur dari Seren Taun tetap menjadi pedoman kita menuju Indonesia Emas.” Tradisi ini bukan sekadar upacara adat, melainkan perwujudan jati diri bangsa, pondasi moral dan spiritual yang berkontribusi pada visi besar Indonesia Emas 2045.

Rangkaian acara tetap dilaksanakan dengan penuh penghormatan dan kekhidmatan. Prosesi seperti Damar Sewu (cahaya kehidupan), Tari Puraga Baya, serta ritual Mesek Pare (memisahkan gabah dari tangkai) dan Siraman Baleg Kembang (penyucian dengan air bunga) tetap menjadi bagian inti. Abah Subrata menjelaskan, “Damar Sewu adalah cahaya kehidupan. Ini bukan sekadar simbol, tetapi ajaran tentang bagaimana manusia hidup dengan terang nilai, kasih sayang, dan keseimbangan dengan alam.” Seluruh prosesi ini merefleksikan rasa syukur dan keharmonisan hidup antara manusia dengan alam semesta.