Editorial | Oleh: Redaksi SadiWartaNews
Di tengah gempuran era digital dan modernisasi yang kian masif, sebuah pertanyaan mendasar patut kita renungkan bersama: mau dibawa ke mana budaya bangsa? Ketika tradisi mulai dilupakan dan nilai-nilai luhur warisan leluhur dianggap usang, generasi muda perlahan tetapi pasti mengalami keterputusan dengan akar budaya yang sesungguhnya menjadi sumber identitas nasional.
Kenyataan ini bukan sekadar kekhawatiran retoris. Hari demi hari kondisi lapangan menunjukkan menurunnya minat generasi muda terhadap bahasa daerah, seni tradisi, hingga pengetahuan lokal yang selama ratusan tahun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Banyak anak muda lebih akrab dengan budaya populer global ketimbang filosofi lokal yang menjadi landasan hidup masyarakat Indonesia sejak dahulu kala.
Tentu, globalisasi tidak selalu berarti ancaman. Namun, tanpa fondasi identitas yang kuat, arus global bisa menjadi gelombang yang menyeret generasi muda ke arah yang jauh dari nilai-nilai asli bangsa ini. Warisan budaya bukan hanya soal pertunjukan seni atau upacara adat. Ia adalah sistem nilai, cara pandang, dan panduan hidup yang membentuk karakter manusia Indonesia.
Penting untuk menyadari bahwa kebudayaan tidak akan bertahan hanya dengan nostalgia. Ia harus dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari, dikenalkan dalam ruang-ruang pendidikan, didukung oleh kebijakan negara, dan yang terpenting diadopsi secara sadar oleh generasi muda sebagai bagian dari identitas mereka, bukan sekadar simbol masa lalu.
Namun, tidak adil juga jika seluruh beban dilimpahkan kepada anak muda. Kita harus bertanya: sudahkah para pemangku kepentingan memberikan ruang dan dukungan yang cukup bagi pewarisan budaya? Apakah pendidikan nasional sudah menempatkan kebudayaan sebagai poros utama pembentukan karakter bangsa? Apakah media turut andil mengangkat narasi budaya yang membangkitkan kebanggaan, bukan sekadar yang bersifat viral dan konsumtif?
Refleksi ini bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk mengingatkan. Budaya bukanlah milik masa lalu, tetapi tanggung jawab masa kini dan harapan masa depan. Jika kita tidak mampu mewariskannya secara bermakna kepada generasi selanjutnya, maka kita sedang menggali jurang keterasingan di tanah sendiri.
Di tangan anak muda-lah masa depan bangsa dibentuk. Namun tanpa warisan nilai yang kokoh, arah perjalanan itu bisa menjadi rapuh. Saatnya membangun jembatan antara generasi: dengan saling belajar, saling menguatkan, dan saling memahami bahwa budaya bukan sekadar aset, tetapi napas yang menyatukan kita sebagai bangsa.