Sandiwartanews.com – BANDUNG, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali membuat langkah mengejutkan yang disebut sebagian kalangan “di luar kebiasaan pejabat”. Dalam sebuah rapat internal, Dedi secara terbuka mengungkapkan pemangkasan drastis anggaran perjalanan dinas gubernur dan memilih mengalihkannya untuk kebutuhan rakyat kecil, khususnya tambahan asuransi bagi anak-anak pekerja informal seperti ojek online (ojol).
Awalnya, pagu anggaran perjalanan dinas Gubernur Jabar tercatat mencapai Rp1,5 miliar. Namun, Dedi meminta agar angka itu ditekan hingga setengahnya, yakni Rp750 juta. “Sebenarnya pagub itu sudah mengurangi dari Rp1,5 miliar ke Rp750 juta,” ujar Dedi saat menyampaikan arahannya.
Dalam kesempatan tersebut, Dedi menanyakan langsung realisasi dana perjalanan dinas sejak Februari hingga September 2025. “Anggaran perjalanan dinas saya kan dianggarkan dalam kota, luar kota, luar provinsi, sampai luar negeri. Saya kan tiap hari ke luar. Berapa total semuanya? Dari Februari sampai sekarang sudah berapa yang terpakai?” tanyanya.
Pihak administrasi kemudian menjelaskan bahwa dari total Rp750 juta, hanya Rp74 juta yang terpakai dalam kurun tujuh bulan terakhir. Artinya, masih terdapat sisa Rp676 juta.
Mendengar penjelasan itu, Dedi langsung mengambil keputusan tak biasa. “Oh ya sudah, saya minta Rp25 juta saja sampai Desember, cukup. Yang sisanya geser untuk tambahan asuransi anak ojol atau pekerja informal,” tegasnya.
Langkah ini sontak menuai reaksi publik. Sebagian menganggap sikap Dedi sebagai bentuk keberpihakan nyata pada rakyat, sementara lainnya menyebut tindakan itu “nekat” bahkan “gila” karena jarang ada kepala daerah yang rela memangkas fasilitas pribadinya demi kepentingan masyarakat.
Meski begitu, keputusan tersebut selaras dengan citra Dedi yang selama ini dikenal blak-blakan, kontroversial, namun kerap menghadirkan kebijakan pro-rakyat.
Kini, perhatian publik tertuju pada realisasi janji pengalihan anggaran perjalanan dinas itu untuk perlindungan anak pekerja informal. Jika benar terealisasi, kebijakan ini berpotensi menjadi sejarah baru dalam pengelolaan anggaran daerah, sekaligus mendorong transparansi penggunaan dana publik.