Sandiwartanews.com – Suara rakyat, khususnya dari pelosok desa, kembali menjadi sorotan. Mereka yang sejak lama menjadi ujung tombak pembangunan bangsa, justru kerap merasa terpinggirkan. Janji-janji politik yang dilontarkan saat masa kampanye sering kali berakhir hanya sebagai kenangan tanpa realisasi nyata.
Warga desa menilai, mulai dari tingkat kampanye kepala desa hingga tingkat nasional, kebutuhan mereka kerap dijadikan alat politik untuk meraih suara. Namun setelah para pemimpin duduk di kursi kekuasaan, aspirasi itu perlahan dilupakan.
Suara Rakyat yang Terbungkam
Masyarakat di pelosok desa mengaku sering kali dianggap membangkang ketika menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Suara yang sejatinya lahir dari keresahan rakyat justru dipandang sebagai perlawanan. Bahkan, dalam beberapa kasus, intimidasi tak jarang terjadi seakan-akan ruang demokrasi telah terkikis di negeri ini.
“Kalau kami diam, pembangunan tak kunjung datang. Tapi ketika bersuara, kami dianggap melawan. Padahal kami hanya ingin diperhatikan,” ujar salah satu warga desa yang enggan disebutkan namanya.
Fenomena ini menimbulkan rasa yang mendalam. Demokrasi yang seharusnya menjadi sarana rakyat menyampaikan pendapat, justru terasa seperti semu bagi sebagian masyarakat desa yang hidup jauh dari hiruk pikuk kota.
Harapan pada Kebijakan yang Berpihak
Rakyat menginginkan kebijakan yang benar-benar berpihak kepada mereka. Bukan sekadar janji kampanye atau proyek-proyek sesaat, melainkan program nyata yang bisa mendorong kesejahteraan. Infrastruktur jalan, fasilitas pendidikan, layanan kesehatan, dan akses ekonomi menjadi kebutuhan mendesak yang kerap tertunda.
Para tokoh masyarakat mendesak pemerintah agar mendengar suara desa, karena dari sanalah pondasi bangsa ini dibangun. Desa bukan hanya sekadar wilayah administratif, tetapi juga pusat kehidupan rakyat yang harus diutamakan.
Transparansi Dana Desa Dipertanyakan
Persoalan lain yang mencuat adalah soal pengelolaan dana desa. Meski anggaran yang digelontorkan pemerintah pusat setiap tahunnya cukup besar, masyarakat di tingkat bawah kerap tidak mengetahui ke mana arah penggunaannya. Minimnya sosialisasi membuat warga merasa asing dengan anggaran yang seharusnya mereka nikmati.
“Kadang masyarakat tahunya cuma ada pembangunan jalan atau gedung. Tapi rincian anggarannya tidak pernah disampaikan secara terbuka. Seakan-akan uang itu milik pribadi, bukan milik rakyat,” ujar warga dari salah satu desa terpencil.
potensi penyalahgunaan anggaran. Transparansi dan akuntabilitas pun menjadi tuntutan utama agar setiap rupiah dana desa benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat.
Tumpas Korupsi, Wujudkan Kesejahteraan
Di sisi lain, masyarakat menilai salah satu penghambat kesejahteraan adalah praktik korupsi yang masih marak. Dana pembangunan yang seharusnya mengalir ke desa, sering kali tersendat karena kebocoran di berbagai tingkatan.
“Jika korupsi diberantas dengan tegas, rakyat pasti lebih sejahtera. Anggaran yang ada cukup, asalkan tidak dikorupsi,” tegas seorang aktivis desa.
Suara rakyat di pelosok ini menjadi pengingat bagi para pemangku kebijakan, bahwa janji politik bukan sekadar alat untuk meraih kursi, melainkan amanah yang harus diwujudkan. Demokrasi hanya bisa hidup jika rakyat diberi ruang untuk bersuara tanpa rasa takut.
Kini, harapan masyarakat sederhana hadirnya pemimpin yang benar-benar berpihak, menegakkan keadilan, menumpas korupsi, dan membangun desa sebagai wujud nyata keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.