SandiWartaNews.com – Dalam perjalanan sejauh ratusan kilometer dari Yogyakarta ke Jawa Barat, ribuan prajurit dan keluarga Divisi Siliwangi menorehkan sejarah kepahlawanan demi mempertahankan Republik dari ancaman kolonial dan rongrongan internal.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tak hanya terjadi di medan pertempuran, tetapi juga terukir dalam jejak langkah ribuan prajurit yang tergabung dalam Long March Siliwangi—salah satu episode heroik dalam sejarah militer dan perjuangan Republik Indonesia. Peristiwa ini terjadi setelah Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948, dan berlangsung hingga awal 1949, ketika tiga brigade Divisi Siliwangi menempuh perjalanan panjang dari Yogyakarta dan Jawa Tengah kembali ke tanah asal mereka: Jawa Barat.

Latar Belakang Sejarah

Asal muasal Long March Siliwangi bermula dari penandatanganan Perjanjian Renville pada 1 Januari 1948. Kesepakatan ini membatasi wilayah Republik Indonesia hanya pada sebagian kecil wilayah: Sumatera, Yogyakarta, dan Jawa Tengah. Dampaknya, pasukan Siliwangi yang saat itu bermarkas di Jawa Barat, diwajibkan mundur dan hijrah ke wilayah Republik di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Ironisnya, kondisi ini justru dimanfaatkan Belanda untuk membentuk Negara Pasundan dan mengaktifkan kembali sistem kolonial di wilayah Jawa Barat. Meskipun tidak sepenuhnya sepakat, pasukan Siliwangi tetap menjalankan perintah hijrah dengan disiplin tinggi, bahkan di bawah pengawalan pasukan Belanda.

Namun situasi berubah drastis ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II dan menduduki Yogyakarta, menawan Presiden Soekarno dan sejumlah pemimpin Republik. Menyikapi situasi darurat ini, Jenderal Sudirman menginstruksikan agar seluruh pasukan kembali ke kantong pertahanan masing-masing. Divisi Siliwangi diperintahkan kembali ke Jawa Barat untuk mempertahankan eksistensi Republik di wilayah strategis tersebut.

Perjalanan Panjang dalam Suasana Perang

Berbeda dengan proses hijrah sebelumnya, Long March dilakukan dalam situasi militer terbuka tanpa adanya panitia atau pengawalan netral. Pasukan harus bergerak diam-diam, berjalan kaki melalui jalur lembah, hutan, sungai, dan perkampungan untuk menghindari deteksi militer Belanda.

Lebih dari 30.000 orang, termasuk prajurit dan keluarga mereka, turut serta dalam perjalanan yang penuh tantangan ini. Mereka bergerak dalam beberapa rute besar: jalur utara (menuju Tegal dan Cirebon), tengah (melalui Wonosobo–Banjarnegara), dan selatan (melewati Purworejo dan Banyumas). Tujuan mereka satu: kembali dan merebut kembali basis pertahanan Siliwangi di tanah Pasundan.

Tantangan dan Korban di Medan Berat

Perjalanan ini menuntut ketahanan fisik dan mental yang luar biasa. Dalam kesaksian sejarawan Saidi Mansur Yohadi Projo, pasukan menghadapi hujan deras, sungai meluap, kelaparan, dan serangan musuh. Bahkan di Bantarkawung, Brebes, mereka diserang oleh pesawat tempur Belanda, menyebabkan banyak korban.

Meski penuh derita, pasukan tetap bertahan. Mereka tiba satu per satu di Jawa Barat dan menyebar ke berbagai titik, seperti di Darondong, Sumedang, yang menjadi markas besar Divisi Siliwangi.

Perlawanan Ganda: Belanda dan DI/TII

Sesampainya di Jawa Barat, pasukan Siliwangi tidak hanya harus berhadapan dengan Belanda, tapi juga dengan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. DI/TII bahkan menggunakan racun dalam makanan sebagai taktik licik menyerang pasukan Republik.

Meski begitu, dukungan rakyat Jawa Barat kepada Divisi Siliwangi sangat besar. Bantuan logistik dan partisipasi masyarakat memperlihatkan penolakan terhadap Negara Pasundan bentukan Belanda, serta menegaskan posisi Siliwangi sebagai kekuatan rakyat.

Makna Historis dan Nilai Perjuangan

Long March Siliwangi bukan sekadar manuver militer, tapi simbol ketahanan, loyalitas, dan integritas dalam mempertahankan kemerdekaan. Keberhasilan pasukan Siliwangi kembali ke tanah asal dan membangun kembali basis pertahanan di tengah ancaman internal maupun eksternal, merupakan bukti komitmen tanpa syarat terhadap NKRI.

Peristiwa ini juga menjadi pengingat penting bagi generasi muda, bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya soal senjata, tetapi juga tekad, strategi, dan semangat pantang menyerah. Monumen Darondong di Sumedang menjadi bukti fisik dari pengorbanan para pejuang yang telah menempuh perjalanan heroik ini.