Sandiwartanews.com – Tangerang Selatan, Riska Sastra Juliyani, Mahasiswi Fakultas Hukum, Universitas Pamulang, Tangerang Selatan membuat Opini Hukum terhadap Keadilan Korektif Masa Depan Pemasyarakatan di Era Modern khususnya di Indonesia. Kepada Tim Patroli86 Pada Senin pagi melalui WhatsApp,  (9/6/2025)

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Sistem pemasyarakatan di Indonesia selama ini cenderung mengandalkan pendekatan retributif yakni menjatuhkan hukuman sebagai bentuk pembalasan atas kejahatan yang dilakukan. Namun, seiring berkembangnya pandangan tentang hak asasi manusia dan efektivitas hukum pidana, kini muncul suatu paradigma baru yang lebih manusiawi dan berorientasi masa depan: keadilan korektif (corrective justice).

Keadilan korektif adalah suatu pendekatan dalam pemidanaan yang menempatkan pembinaan perilaku pelaku sebagai prioritas utama, bukan sekadar menjatuhkan hukuman. Tujuan utamanya adalah untuk memperbaiki individu agar tidak kembali melakukan tindak pidana, serta menyiapkan mereka untuk kembali berkontribusi secara positif di tengah masyarakat.

Sayangnya, realitas sistem pemasyarakatan kita masih jauh dari ideal. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia mengalami overkapasitas yang parah. Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah narapidana jauh melebihi kapasitas ideal lembaga, sehingga pembinaan tidak bisa dilakukan secara optimal. Alih-alih menjadi tempat rehabilitasi, Lapas justru kerap menjadi “sekolah kejahatan” yang memperkuat jaringan kriminal dan meningkatkan angka residivisme.

Di sinilah urgensi penerapan keadilan korektif menjadi sangat penting. Paradigma ini menekankan pada pendidikan, pelatihan kerja, konseling psikologis, dan pendekatan keagamaan sebagai upaya membentuk perilaku positif. Narapidana dipandang bukan hanya sebagai pelaku kejahatan, tetapi juga sebagai manusia yang masih memiliki potensi untuk berubah.

Lebih jauh, penerapan keadilan korektif dapat didukung dengan pengembangan sistem restorative justice, yakni penyelesaian perkara pidana di luar jalur peradilan dengan melibatkan pelaku, korban, dan masyarakat. Proses ini memungkinkan pelaku memahami dampak perbuatannya dan bertanggung jawab secara moral, bukan hanya hukum.

Namun demikian, pergeseran menuju sistem pemasyarakatan berbasis keadilan korektif memerlukan komitmen dari seluruh pihak baik pembuat kebijakan, aparat penegak hukum, hingga masyarakat luas. Penataan ulang kurikulum pembinaan, pelatihan petugas lapas, serta penyediaan anggaran yang memadai menjadi prasyarat mutlak.

Keadilan korektif bukan berarti melemahkan wibawa hukum, tetapi justru memperkuat tujuan utama dari hukum pidana: menciptakan keteraturan sosial yang berkeadilan. Masa depan pemasyarakatan tidak lagi cukup hanya dengan “menghukum”, tetapi harus mampu memanusiakan manusia, sekaligus mencegah kejahatan berulang secara lebih efektif.

Sudah saatnya Indonesia berani bertransformasi dari sistem pemasyarakatan yang represif menjadi sistem yang korektif dan konstruktif. Karena keadilan yang sejati bukan hanya soal membalas, tapi juga soal memperbaiki.

Penulis: Riska Sastra Juliyani, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Pamulang.