sandiwartanews.com – Bahasa Jawa sering dianggap satu entitas yang seragam. Namun, kenyataannya, di setiap sudut Pulau Jawa, bahasa ini memiliki rupa yang berbeda. Mulai dari logat ngapak yang khas di wilayah barat, hingga ceplas-ceplos medok ala Surabaya di timur, keragaman itu memantik pertanyaan: apakah semuanya masih bisa disebut sebagai satu bahasa? Atau, justru sudah menjadi cabang yang berbeda?
Jejak Sejarah Bahasa Jawa
Bahasa Jawa berasal dari rumpun Austronesia dan berkembang sejak abad ke-8 Masehi, bersamaan dengan masa kejayaan Kerajaan Medang dan Mataram Kuno. Salah satu peninggalan tertulis tertua adalah Prasasti Sukabumi tahun 804 M dan Prasasti Balitung tahun 907 M, yang menggunakan Bahasa Jawa Kuno atau Kawi. Pada masa itu, belum dikenal sistem tingkatan bahasa seperti krama dan ngoko ciri khas yang belakangan muncul dan menjadi penanda sosial dalam komunikasi.
Namun, perubahan politik dan budaya mendorong evolusi bahasa ini. Pengaruh kerajaan, penyebaran Islam, kolonialisme, hingga modernisasi, turut membentuk keragaman dialek yang kita kenal sekarang.
Tiga Zona Bahasa Jawa: Banyumasan, Mataraman, dan Jawa Wetan
Secara umum, bahasa Jawa kini terbagi dalam tiga wilayah besar:
- Banyumasan (Ngapak) – digunakan di wilayah barat seperti Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Tegal. Dialek ini mempertahankan pelafalan vokal asli (A tetap A), tidak mengenal tingkatan bahasa secara ketat, dan banyak menyimpan kosakata klasik seperti urip (hidup) dan embuh (tidak tahu). Menurut pakar linguistik Prof. Sudaryanto, Banyumasan dianggap sebagai bentuk paling konservatif dari bahasa Jawa pra-Mataram.
- Mataraman – digunakan di Yogyakarta, Surakarta (Solo), dan sekitarnya. Dialek ini dianggap sebagai standar resmi yang diajarkan dalam sistem pendidikan. Bahasa krama dan ngoko diterapkan ketat sesuai situasi dan hierarki sosial, mencerminkan budaya istana yang sangat mengedepankan tata krama.
- Jawa Wetan (Timuran) – digunakan di Surabaya, Malang, Kediri hingga Banyuwangi. Bahasa ini cenderung ekspresif, lugas, dan fleksibel. Meski terdengar keras, masyarakat Jawa Timur tetap menggunakan krama dalam konteks formal. Pelafalan vokal A berubah menjadi O, misalnya: lunga menjadi lungo.
Dialek, Identitas, dan Stigma
Sayangnya, tidak semua dialek mendapatkan tempat yang sama. Bahasa ngapak selama ini kerap dijadikan bahan candaan atau dipandang “kurang halus” oleh media nasional. Padahal, dialek ini justru memelihara bentuk purba dari bahasa Jawa yang mulai hilang di wilayah lain. Sebaliknya, Jawa Wetan mencerminkan kemampuan beradaptasi bahasa Jawa terhadap perubahan zaman dan sosial-budaya yang terus berkembang.
Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, bahasa dan lebih spesifik lagi, dialek bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga lambang identitas dan kebanggaan. Kini, semakin banyak generasi muda dari Banyumas dan Surabaya yang mulai menunjukkan jati dirinya dengan percaya diri, lewat konten digital dan media sosial.
Saatnya Merangkul Keberagaman Bahasa
Dominasi dialek Mataraman sebagai standar bahasa Jawa tak lepas dari kebijakan lembaga resmi, seperti Balai Bahasa dan Lembaga Basa lan Sastra Jawa. Namun kini, ada dorongan kuat untuk melibatkan dialek lain dalam upaya pelestarian. Banyumasan, Jawa Wetan, bahkan Madura mulai diberi ruang dalam proyek-proyek kebahasaan dan kesusastraan.
Kita tidak sedang memilih mana yang paling benar, namun bagaimana semuanya bisa hidup berdampingan. Bahasa ngapak, medok, alus, atau ceplas-ceplos semua adalah wajah dari satu akar yang sama: Bahasa Jawa. Banyumasan adalah pelestari tradisi, Jawa Wetan adalah bukti fleksibilitas zaman. Tidak ada yang lebih baik, hanya berbeda namun tetap satu bangsa Indonesia.