Jakarta – sandiwartanews.com – Julukan “Macan Asia” bagi Indonesia bukan sekadar kebanggaan simbolik, melainkan refleksi dari perjalanan panjang sejarah bangsa yang kaya pengalaman, berlapis diplomasi, serta memiliki kekuatan ekonomi yang diperhitungkan dunia. Sebutan ini lahir dari akar peradaban Nusantara, berkembang dalam panggung politik internasional, hingga menjadi pijakan penting menuju Indonesia Emas 2045.
Jejak Sejarah Dari Laut Sriwijaya ke Imperium Majapahit
Sejarah mencatat, pada abad ke-8 hingga ke-9 M, Kerajaan Sriwijaya menjadi kekuatan maritim raksasa di Asia Tenggara. Posisi strategis di jalur perdagangan internasional menjadikan Nusantara pusat persinggahan kapal-kapal dagang dari India, Tiongkok, hingga Timur Tengah. Sriwijaya tidak hanya menguasai laut, tetapi juga membangun pengaruh diplomatik dengan negeri-negeri sahabat.
Lompatan berikutnya hadir pada era Majapahit (1350–1389), di mana Nusantara dikenal sebagai kerajaan bercakrawala luas, dengan pengaruh politik dan budaya menjangkau sebagian besar Asia Tenggara. Dari titik inilah, identitas Nusantara sebagai pusat kekuatan kawasan mulai menegaskan diri.
Soekarno Diplomasi yang Menggema di Dunia
Memasuki abad ke-20, Indonesia modern kembali memantapkan reputasi internasional. Presiden pertama RI, Soekarno, menempatkan Indonesia sebagai negara yang berani bersuara lantang di tengah pusaran Perang Dingin.
Peran besar Indonesia dalam mendirikan Gerakan Non-Blok (GNB) tahun 1961 membuat dunia sadar, bahwa negeri kepulauan ini bukan sekadar negara baru merdeka, melainkan pemimpin yang mampu menjembatani negara-negara berkembang dengan blok adidaya. Dari sinilah sebutan “Macan Asia” kembali bergema, kini dalam ranah politik global.
Soeharto Lompatan Ekonomi dan Diplomasi Strategis
Pada era Presiden Soeharto, citra Indonesia sebagai “Macan Asia” mencapai puncaknya. Stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang pesat, serta kebijakan deregulasi membuat Indonesia dilirik investor internasional.
Salah satu tonggak penting adalah pembentukan Forum Kerja Sama Ekonomi dan Teknologi RI–Jerman tahun 1995, yang mempertemukan Soeharto dengan Kanselir Helmut Kohl. Forum ini bukan sekadar seremonial, tetapi membuka jalur konkret untuk memperluas investasi Jerman di Indonesia, sekaligus menjadikan Indonesia sebagai gerbang utama Jerman menuju Asia Pasifik.
Soeharto menegaskan bahwa Indonesia siap menjadi “batu loncatan” bagi Jerman di Asia, sementara Jerman berjanji mendukung penetrasi ekonomi Indonesia ke Eropa. Kanselir Kohl bahkan menekankan pentingnya hubungan budaya sebagai fondasi langgeng bagi kerja sama dua bangsa.
Investasi Jerman semakin deras setelah itu. Dr. Heinrich Pierer, General Manager Siemens, menilai Indonesia sebagai negara dengan dinamika ekonomi luar biasa. Deregulasi yang dilakukan pemerintah dianggap mampu mengakselerasi Indonesia menjadi “tiger baru Asia Tenggara”.
Makna Julukan Macan Asia di Era Globalisasi
Julukan “Macan Asia” tidak berhenti sebagai romantisme sejarah. Ia adalah pengingat bahwa Indonesia pernah, dan bisa kembali, menjadi kekuatan besar dunia. Meski krisis moneter 1997–1998 sempat mengguncang, perjalanan bangsa tidak berhenti di situ.
Kini, di tengah era globalisasi, posisi Indonesia semakin strategis:
Sebagai anggota G20, Indonesia menjadi satu-satunya wakil Asia Tenggara dalam forum ekonomi terbesar dunia.
Dalam ASEAN, Indonesia dipandang sebagai pemimpin alami yang mampu menjaga stabilitas kawasan.
Secara ekonomi, Indonesia menjadi pasar potensial dengan lebih dari 270 juta penduduk, sekaligus bonus demografi yang menguntungkan.
Menuju Indonesia Emas 2045 Meneruskan Jejak Macan Asia
Pemerintah saat ini menargetkan Indonesia Emas 2045, tepat seratus tahun kemerdekaan. Visi tersebut bukan hanya angka simbolis, melainkan upaya konkret menjadikan Indonesia sebagai negara maju dengan ekonomi kuat, masyarakat sejahtera, serta pengaruh global yang disegani.
Kekuatan digital, energi terbarukan, serta pembangunan infrastruktur berskala besar menjadi modal utama. Namun, tantangan tetap ada: kesenjangan sosial, korupsi, dan ancaman geopolitik yang semakin kompleks.
Julukan “Macan Asia” akan bermakna jika generasi sekarang mampu menghidupkan kembali semangat kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, keberanian Soekarno, serta kejelian strategi ekonomi Soeharto—tentu dengan penyesuaian terhadap zaman modern.
“Macan Asia” bukan sekadar gelar kebanggaan, melainkan tantangan. Gelar itu menuntut konsistensi dalam diplomasi, kemandirian ekonomi, dan kekuatan budaya. Jika bangsa ini mampu menjaga persatuan serta mengelola potensi dengan baik, bukan tidak mungkin Indonesia kembali mengaum, bukan hanya di Asia, tetapi juga di panggung dunia.