SandiWartaNews.com – kejayaan peradaban maritim di Nusantara, khususnya Kota Banten pada abad ke-17. Pada masa itu, Banten menjadi salah satu kota internasional terbesar di Asia Tenggara, berfungsi sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan maritim yang maju dan terbuka. Keberadaan Banten sebagai kota pelabuhan kelas dunia tidak terlepas dari posisinya yang strategis di dekat Selat Sunda, menjadikannya jalur alternatif penting selain Selat Malaka. Pelabuhan Karangantu, yang kini hanya menjadi tempat bersandar kapal nelayan, dulunya adalah pelabuhan internasional yang ramai, tercatat sebagai bagian dari jalur perdagangan rempah dunia dan jalur sutra. Catatan Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, menunjukkan betapa sibuknya pelabuhan ini, dengan kunjungan kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia, termasuk enam kapal Cina yang membawa barang senilai 300.000 real dalam satu waktu. Sejak akhir abad ke-16, Karangantu menjadi pasar dan bandar internasional utama untuk wilayah Nusantara bagian barat, disinggahi oleh pedagang dari Asia, Afrika, dan Eropa.
Kemunculan Kesultanan Banten
Kemunculan Banten sebagai kota bandar terpenting di Asia Tenggara tidak dapat dipisahkan dari berdirinya Kesultanan Banten pada akhir abad ke-16. Kesultanan ini didirikan setelah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu Banten Girang, yang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda Pajajaran, pada tahun 1526. Menurut catatan sejarah lokal dan sumber primer, Banten berdiri antara tahun 1526 dan 1527. Pendirian ini merupakan bagian dari ekspansi Kerajaan Demak ke barat, dengan tujuan membendung ekspansi Portugis di Malaka dan memperluas penyebaran Islam ke barat Pulau Jawa. Pangeran Sabrang Lor, ipar Syarif Hidayatullah, dan putranya, Sultan Maulana Hasanuddin, mendukung ekspansi ini dengan bantuan senjata, pasukan, dan logistik.
Pada tahun 1546, Kerajaan Banten yang awalnya merupakan vasal Demak, memisahkan diri setelah wafatnya Pangeran Trenggana, Sultan Demak ketiga. Syarif Hidayatullah, yang menjadi wakil kekuasaan Demak di Banten, menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Maulana Hasanuddin, pada tahun 1546. Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin mengubah status wilayah Banten dari daerah vasal menjadi kerajaan mandiri, yang kemudian dikenal sebagai Kesultanan Banten.
Pembangunan Kota dan Kebijakan Terbuka
Selama masa pemerintahannya (1546-1570), Sultan Maulana Hasanuddin mengeluarkan sejumlah kebijakan penting yang berkontribusi pada kemajuan Banten. Salah satu kebijakan utamanya adalah memindahkan pusat kekuasaan dari Banten Girang ke kawasan pesisir Banten yang kini dikenal sebagai Banten Lama di Kota Serang. Pemilihan lokasi ini, meskipun secara lingkungan dianggap kurang ideal karena masalah air, menunjukkan keberanian dan visi Maulana Hasanuddin dalam mengembangkan Banten sebagai kota maritim.
Seiring dengan berkembangnya Pelabuhan Banten menjadi bandar internasional, Sultan Maulana Hasanuddin juga berupaya membangun Banten menjadi kota berstandar internasional. Ia membangun Masjid Agung di pusat kota Banten pada tahun 1552 dan Keraton Surosowan yang dikelilingi benteng batu setinggi dua meter seluas empat hektar. Keraton Surosowan dirancang dengan teknologi canggih pada masanya, termasuk sistem penyaringan air bersih yang bersumber dari mata air Tasik ini, berjarak sekitar 2,5 kilometer dari keraton. Saluran air ini dilengkapi dengan tiga tempat penyaringan (Pengindelan Abang, Pengindelan Putih, dan Pengindelan Emas) untuk memastikan air yang sampai ke keraton layak minum.
Pengembangan pelabuhan dan kota Banten menjadi bandar internasional pada akhir abad ke-16 dirintis oleh Sultan Maulana Hasanuddin dengan merilis berbagai kebijakan yang didasarkan pada ideologi terbuka. Hanya lima tahun setelah berkuasa, Sultan Maulana Hasanuddin menjalin hubungan dagang dengan Portugis, yang pada saat itu menguasai Selat Malaka dan sempat menjadi seteru Kesultanan Demak. Aliansi perdagangan ini menguntungkan Banten karena Portugis menjadi pembeli lada, produk unggulan Banten, dan juga membantu Banten dalam membangun benteng, memperbarui artileri, persenjataan, serta pasukan bayaran. Kebijakan perdagangan terbuka ini, dengan cukai barang yang lebih rendah dibandingkan Batavia (VOC) dan penyerahan semua barang ke pasar, menarik banyak pedagang asing. Selain itu, posisi Syahbandar, yang sering dijabat oleh orang non-Banten, menunjukkan sikap inklusif Kesultanan Banten terhadap pedagang asing.
Puncak Kejayaan di Bawah Sultan Ageng Tirtayasa
Setelah penaklukan Kerajaan Hindu Pakuan Pajajaran pada tahun 1579 di masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf, Kesultanan Banten semakin diperhitungkan sebagai kekuatan penting di Nusantara. Penaklukan ini menjadi fondasi dasar bagi kemampuan Banten untuk membangun ibu kota, memperluas jaringan aliansi perdagangan dan pertahanan, serta memahami konstelasi politik, ekonomi, dan kebudayaan di Asia Tenggara.
Puncak kejayaan Kesultanan Banten terjadi pada masa pemerintahan Abu Fath Abdul Fatah, yang lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Pada masa ini, Pelabuhan Banten telah sepenuhnya berkembang menjadi pelabuhan internasional, mendorong kemajuan pesat perekonomian di berbagai bidang. Kota Banten menjadi kota kosmopolitan yang dihuni oleh warga dari beragam etnis dan ras, dengan kehidupan masyarakat yang dinamis dan penuh toleransi antar kelompok ras dan agama. Catatan traveler Prancis menggambarkan Banten sebagai “le lieu de ma joie” (tempat yang membuat orang ingin datang lagi), menunjukkan kemakmuran, keragaman, kemajuan, inklusivisme, kepastian hukum, dan daya tarik kota tersebut. Bahkan, para pendeta Katolik dari Spanyol memilih transit dan tinggal lebih lama di Banten daripada di Batavia, karena merasa lebih nyaman dan kebutuhan mereka terpenuhi, menunjukkan sikap keterbukaan Sultan.
Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sebagai sosok yang tegas menolak berbagai bentuk hegemoni kekuatan asing, terutama kekuatan Barat yang ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah, khususnya lada. Ia menolak upaya monopoli dari Portugis, Inggris, dan Belanda, sehingga pedagang dari seluruh penjuru dunia dapat berdagang dengan bebas di Pelabuhan Banten. Sikap ini memungkinkan Banten menikmati kemakmuran luar biasa selama “long sixteenth century” (abad ke-16 yang panjang), periode puncak perdagangan maritim di Asia Tenggara.
Untuk meningkatkan kemakmuran dan mempertahankan keamanan, Sultan Ageng Tirtayasa aktif menjalin hubungan dan kerja sama dengan banyak kerajaan lain. Ia kerap mengirim pejabat atau utusan ke kerajaan-kerajaan lain melalui jalur laut, termasuk ke Inggris dan Belanda, menunjukkan pencapaian diplomasi yang luar biasa dan kemampuan Banten untuk berdiri sejajar dengan kekuatan maritim utama dunia. Pada masa kekuasaannya, wilayah Kesultanan Banten semakin luas, meliputi sebagian besar wilayah Banten sekarang, semua wilayah Kerajaan Sunda yang tidak direbut Mataram, serta wilayah yang kini menjadi Provinsi Lampung.
Kemunduran dan Kejatuhan Kesultanan Banten
Kuatnya Kesultanan Banten dan ramainya Pelabuhan Banten membuat VOC kesulitan memonopoli perdagangan di wilayah pesisir Jawa. VOC sempat memblokade dan mengganggu kapal-kapal dagang dari Cina dan Maluku yang menuju Banten, memicu konflik antara Kesultanan Banten dan VOC. Konflik ini sudah berlangsung sejak kedatangan Cornelis de Houtman pada tahun 1596, yang diusir setelah mencoba memonopoli perdagangan. VOC kemudian mendapatkan akses lahan kecil di Batavia dari Inggris, yang berujung pada pengusiran Pangeran Jayakarta pada tahun 1619. Meskipun ada beberapa perjanjian damai, seperti perjanjian 10 Juli 1659 yang meminta batas wilayah VOC diperluas hingga Sungai Cisadane dan Gunung Salak, serta kebebasan menangkap warga Belanda yang melarikan diri ke Banten, konflik terus berlanjut.
Pada tahun 1671, Sultan Ageng Tirtayasa menyerahkan urusan pemerintahan dalam negeri kepada putra mahkotanya, Abdul Kohar, yang dikenal sebagai Sultan Haji. Tampilnya Sultan Haji dimanfaatkan VOC untuk memaksakan kesepakatan baru yang memungkinkan mereka memonopoli perdagangan di pesisir Jawa. Hal ini sangat merugikan rakyat Banten dan memicu kemarahan Sultan Ageng Tirtayasa, yang berujung pada konflik internal dengan putranya sendiri.
VOC memanfaatkan pertikaian internal ini untuk menancapkan pengaruh dan kekuasaannya di Kesultanan Banten dengan mendukung Sultan Haji. VOC memiliki kepentingan besar untuk membangun Batavia sebagai emporium yang besar, dan Banten dianggap sebagai ancaman karena lokasinya yang dekat dan statusnya sebagai emporium besar. Oleh karena itu, VOC melakukan berbagai upaya untuk menaklukkan Banten, termasuk terlibat dalam konflik internal.
Sultan Haji, yang menginginkan perdamaian dengan VOC, pada tahun 1680 menyatakan dirinya sebagai penguasa Banten sepenuhnya. Klaim ini memicu Sultan Ageng Tirtayasa menyerbu dan merebut Keraton Surosowan pada 26 Februari 1680. Namun, dua tahun kemudian, keraton dapat direbut kembali oleh tentara VOC, dan pemerintahan Kesultanan Banten sejak saat itu dipegang oleh Sultan Haji. Belanda menganggap Banten sebagai satu-satunya kerajaan di Asia Tenggara yang belum tunduk pada kehendak VOC. Mereka memanfaatkan kelemahan karakter Sultan Haji yang mudah dipengaruhi, dengan menempatkan agen-agen rahasia yang menyuplai data dan memengaruhi putra mahkota. Setelah beberapa tahun, Sultan Haji mulai membangkang perintah ayahnya, yang kemudian memerintahkan Perdana Menteri untuk mengalihkan status putra mahkota kepada Pangeran Purbaya. Sultan Haji yang tidak senang, berkirim surat kepada Gubernur Jenderal Cornelis Speelman di Batavia, menawarkan seluruh Sumatera (kebun lada) dan perluasan batas wilayah VOC hingga Cikande dan Sungai Cidurian (setengah Kabupaten Tangerang) jika permintaannya untuk membela diri dan mengusir pasukan ayahnya dipenuhi.
Sejak diperintah Sultan Haji, kekuatan dan pengaruh Kesultanan Banten merosot drastis. Perdagangan di hampir seluruh wilayah pesisir Jawa, termasuk Pelabuhan Banten, dimonopoli oleh VOC. Kejayaan Kesultanan Banten pun memudar dengan cepat. Setelah Sultan Haji meninggal, campur tangan VOC menyebabkan perang saudara dan perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya. Meskipun terjadi beberapa kali pergantian Sultan, Kesultanan Banten terus mengalami kemunduran. Belanda melakukan monopoli ekonomi dan mengatur suksesi kerajaan, melarang Banten melakukan perjanjian dagang dengan pedagang asing kecuali Belanda. Sikap internasional dan inklusif Banten berubah menjadi isolasionis dan defensif, menyebabkan kemunduran budaya merkantilis dan kewirausahaan.
Pada tahun 1808, Gubernur Jenderal Hindia Timur, William Daendels, memerintahkan penyerangan Kesultanan Banten karena Sultan Abdul Nasser Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin menolak menyediakan tenaga kerja untuk pembangunan pelabuhan di Ujung Kulon. Dalam penyerangan ini, Istana Surosowan dihancurkan, sementara Sultan ditangkap dan diasingkan di Batavia. Kehancuran Banten ini merupakan puncak dari upaya Belanda untuk mengakhiri kekuatan maritim Banten yang dianggap mengancam pemerintahan Hindia Belanda di Batavia.
Pada tahun 1813, keberadaan Kesultanan Banten selama hampir tiga abad berakhir setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles, membubarkan kerajaan Islam ini dan memaksa Sultan Muhammad Syarifudin turun dari takhta. Sejak saat itu, kisah keberadaan dan kejayaan Kesultanan Banten hanya tinggal menjadi catatan sejarah. Ulasan ini menyimpulkan bahwa kejayaan maritim di Nusantara memiliki potensi besar, namun pengaruh kekuatan asing yang tidak ditangani dengan baik dapat mengancam keberlangsungan dan kejayaan sebuah kekuatan maritim. Ini menjadi pembelajaran berharga bagi bangsa Indonesia di abad ke-21, bahwa pengelolaan pengaruh dari luar dengan baik sangat krusial untuk keberlangsungan Negara Republik Indonesia.