SandiWartaNews.com – Jejak pembangunan kolonial Belanda masih membekas dalam lanskap arsitektur dan tata kota Bandung, menjadi pengingat sejarah sekaligus bagian dari identitas kota. Kota Bandung dikenal sebagai kota yang penuh pesona sejarah dan budaya. Namun di balik geliat modernitasnya, tersimpan kisah panjang tentang peran kolonialisme Belanda dalam membentuk wajah kota ini. Sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-20, Bandung secara perlahan tumbuh menjadi pusat administrasi dan permukiman kolonial yang dirancang secara strategis oleh pemerintah Hindia Belanda.
Perubahan besar dimulai ketika Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada tahun 1810 memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg), yang menghubungkan Anyer hingga Panarukan. Jalan yang kini dikenal sebagai Jalan Asia-Afrika tersebut menjadi tulang punggung pembangunan dan urbanisasi awal di Bandung.
Daendels dan Titik Awal Kota Bandung
Menurut berbagai catatan sejarah, ketika Daendels melintasi jembatan di atas Sungai Cikapundung, ia menunjuk suatu titik untuk dijadikan lokasi pembangunan kota baru. Perintah ini memicu pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Bandung oleh Bupati R.A. Wiranatakusumah II ke kawasan selatan jalan raya, yang kini menjadi kompleks Pendopo Kota Bandung.
Meski tidak sepenuhnya mengikuti arahan Daendels, penataan kota oleh Wiranatakusumah II tetap mengadopsi nilai tradisional Sunda—dengan pendopo menghadap Gunung Tangkuban Perahu, masjid di barat alun-alun, dan pasar di timur. Ini memperlihatkan kompromi antara perintah kolonial dan kearifan lokal.
Pertumbuhan Populasi Eropa dan Infrastruktur
Seiring waktu, Bandung menjadi tujuan pemukiman orang Eropa, terutama setelah pemindahan ibu kota Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung tahun 1860. Peningkatan populasi Eropa mendorong pembangunan berbagai infrastruktur: stasiun kereta api (1884), jalan-jalan besar, fasilitas publik, hingga hotel-hotel bergaya Eropa seperti Savoy Homann dan Hotel Prianger.
Pusat hiburan elite seperti Societeit Concordia (kini Gedung Merdeka) tumbuh pesat di kawasan Jalan Braga, yang kemudian menjadi pusat ekonomi dan budaya baru. Namun, pesatnya pembangunan kala itu hanya menjangkau wilayah utara dan pusat kota, sementara wilayah selatan yang dihuni mayoritas pribumi kurang tersentuh.
Bandung sebagai Calon Ibu Kota Hindia Belanda
Memasuki abad ke-20, Bandung naik status menjadi gemeente (kotamadya), dan pada 1925 menjadi stadsgemeente (kotapraja). Kondisi alam yang sejuk, infrastruktur yang berkembang, serta dukungan logistik membuat pemerintah kolonial sempat mempertimbangkan Bandung sebagai calon ibu kota Hindia Belanda, menggantikan Batavia yang dianggap panas, padat, dan tidak sehat.
Pembangunan Gedung Sate pada tahun 1920 menjadi simbol ambisi tersebut. Gedung ini dirancang sebagai kantor pusat pemerintahan kolonial dan dibangun di atas lahan yang kini menjadi pusat administrasi Provinsi Jawa Barat. Di sekitarnya, pemukiman untuk pegawai kolonial pun mulai dibangun, beberapa di antaranya masih berdiri kokoh hingga kini dan dijadikan cagar budaya.
Warisan Arsitektur: Dilestarikan atau Dilupakan?
Hingga saat ini, tercatat sedikitnya 1.770 bangunan peninggalan kolonial masih berdiri di Bandung. Sebagian besar mencerminkan gaya arsitektur Art Deco, seperti SMA Negeri 3 dan 5 Bandung, maupun rumah-rumah di kawasan Jalan Riau dan Cikudapateuh. Namun, tidak semua bangunan tersebut dalam kondisi terawat.
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, hanya bangunan yang memiliki nilai historis dan arsitektural yang penting yang harus dipertahankan. Sebaliknya, bangunan yang tak memenuhi kriteria itu dapat digantikan, selama melalui prosedur yang sesuai.
Menimbang Ulang Makna Kolonialisme
Perspektif publik terhadap warisan kolonial pun beragam. Sebagian melihatnya sebagai simbol penjajahan, sementara sebagian lain menganggapnya sebagai bagian dari identitas sejarah kota. Diperlukan pendekatan kritis dan selektif untuk memilah mana yang patut dilestarikan sebagai pelajaran sejarah, dan mana yang dapat direkonstruksi sesuai kebutuhan zaman.
Bandung, dengan segala dinamika sejarahnya, kini berdiri sebagai kota yang tak hanya merekam jejak masa lalu, tetapi juga terus bergerak maju dengan kesadaran akan pentingnya merawat warisan sejarah sebagai fondasi masa depan.