sandiwartanews.com – Di balik kemegahan arsitekturnya yang menjulang di Dataran Kedu, Candi Borobudur tidak hanya berdiri sebagai ikon keagamaan umat Buddha, namun juga sebagai simbol kejayaan budaya Nusantara yang menantang waktu dan perubahan zaman. Didirikan lebih dari 12 abad silam, Borobudur terus memancarkan pesona sejarah, spiritualitas, dan misteri yang belum sepenuhnya terungkap.
Terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Borobudur adalah salah satu candi Buddha terbesar di dunia dan telah diakui sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO sejak 1991. Struktur candi yang megah ini terdiri dari enam teras berbentuk bujur sangkar dan tiga pelataran melingkar, dihiasi dengan 2.672 panel relief dan 504 arca Buddha, serta sebuah stupa utama di puncaknya. Desainnya menyerupai mandala, simbol kosmologi Buddha, yang menggambarkan perjalanan spiritual menuju pencerahan.
Candi ini diyakini dibangun pada masa Kerajaan Mataram Kuno oleh Dinasti Syailendra sekitar abad ke-8 hingga ke-9 Masehi. Namun, banyak hal mengenai pembangunannya masih menjadi teka-teki sejarah. Beberapa prasasti seperti Tri Tepusan dan Karang Tengah menyebut nama Rakai Panangkaran sebagai inisiator awal, dilanjutkan oleh Samaratungga hingga masa Pramudawardhani.
Misteri dan Arsitektur Spiritual
Borobudur berdiri di atas bukit yang dulunya diyakini merupakan dasar danau purba. Teori ini pertama kali diajukan oleh Nieuwenkamp pada 1931, dan meskipun menuai perdebatan, beberapa bukti geologi memperkuat hipotesis tersebut.
Borobudur dirancang tidak seperti candi-candi Hindu yang memiliki ruang pemujaan di dalam. Sebaliknya, ia menyajikan lorong-lorong yang panjang sebagai jalur pradaksina (mengelilingi candi) bagi para peziarah. Setiap tingkatnya melambangkan tahapan kesadaran dalam ajaran Buddha Mahayana, dari Kamadhatu (ranah nafsu), ke Rupadhatu (ranah bentuk), hingga Arupadhatu (ranah tanpa bentuk).
Teknologi Konstruksi Abad ke-8
Kejeniusan teknik pembangunan Borobudur juga patut diapresiasi. Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit disusun tanpa semen menggunakan sistem interlock, dengan sistem drainase canggih yang mengandalkan 100 pancuran air berbentuk kala dan makara untuk menghindari kerusakan akibat hujan deras.
Relief-relief di dinding candi tidak hanya bercerita tentang ajaran Buddha, tetapi juga menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa Kuno. Salah satu relief paling terkenal menunjukkan kapal Borobudur, yang menjadi bukti kuat bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah memiliki tradisi maritim yang maju.
Dari Terlupakan hingga Dihidupkan Kembali
Seiring berpindahnya pusat kekuasaan Mataram Kuno ke Jawa Timur akibat letusan gunung berapi, Borobudur sempat terlupakan dan terkubur abu vulkanik selama berabad-abad. Candi ini baru ditemukan kembali pada tahun 1814 oleh insinyur Belanda HC Cornelius atas perintah Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris di Jawa.
Pemugaran besar-besaran dilakukan oleh Ir. Theodoor Van Erp pada tahun 1907, dan dilanjutkan dengan program restorasi menyeluruh pada tahun 1975–1982 dengan bantuan UNESCO dan negara-negara sahabat. Pemugaran ini berhasil memperkuat struktur fondasi dan memperbaiki sistem drainase, menyelamatkan Borobudur dari ancaman kerusakan permanen.
Tempat Ibadah dan Destinasi Wisata Dunia
Kini, Borobudur kembali difungsikan sebagai tempat ibadah dan ziarah bagi umat Buddha dari berbagai negara, khususnya saat Hari Raya Waisak. Di sisi lain, Borobudur juga menjadi salah satu objek wisata unggulan nasional, menarik jutaan wisatawan domestik dan mancanegara setiap tahunnya.
Namun, status ganda sebagai situs religi dan wisata ini menimbulkan tantangan tersendiri. Pemerintah pada tahun 2022 menetapkan kembali Borobudur, Pawon, dan Mendut sebagai kawasan suci Buddha, demi menjaga keseimbangan antara fungsi spiritual dan aktivitas pariwisata.
Simbol Peradaban dan Diplomasi Budaya
Borobudur telah menjadi duta budaya Indonesia ke dunia. Replika stupa dan relief Borobudur dipamerkan di berbagai museum internasional sebagai bukti kejayaan arsitektur dan peradaban Nusantara. Presiden Soekarno hingga Presiden Soeharto menjadikan Borobudur sebagai lambang diplomasi budaya Indonesia ke dunia internasional.
Melalui Borobudur, bangsa Indonesia diingatkan pada kecanggihan leluhur dalam membangun, memaknai, dan merawat warisan budaya. Candi ini bukan sekadar objek masa lalu, melainkan cermin nilai-nilai toleransi, spiritualitas, seni, dan ilmu pengetahuan yang terus relevan hingga kini.