sandiwartanews.com – Di tengah hiruk pikuk modernitas Kota Yogyakarta, sebuah wilayah bernama Kotagede masih berdiri kokoh sebagai saksi bisu kejayaan Kerajaan Mataram Islam. Terletak di sisi tenggara kota, kawasan ini menyimpan peninggalan berharga yang menyatukan unsur sejarah, budaya, dan spiritualitas dalam satu lanskap peradaban yang utuh.
Kompleks makam raja-raja Mataram dan Masjid Gede Mataram menjadi pusat perhatian utama bagi para penelusur jejak sejarah. Di sinilah tertanam akar-akar peradaban yang membentuk dua keraton besar di Jawa: Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Dari Alas Mentawati ke Kotagede: Awal Mula Peradaban
Sejarah panjang ini bermula dari abad ke-8, ketika Kerajaan Mataram Hindu tumbuh sebagai salah satu pusat kebudayaan dan keagamaan di Jawa. Enam abad kemudian, wilayah tersebut menjadi bagian dari Kesultanan Pajang, yang pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir), memberikan Alas Mentawati kepada Ki Gede Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya.
Alas yang semula hutan belantara itu berkembang menjadi perkampungan bernama Kotagede. Putra Ki Gede Pemanahan, Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati, melanjutkan kepemimpinan dan membangun struktur kota lengkap dengan cepuri (benteng dalam) dan baluwarti (benteng luar). Dari sinilah Kerajaan Mataram Islam mulai menunjukkan taring kekuasaannya.
Makam Raja dan Struktur Kota Islam Tradisional
Kompleks makam Kotagede menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi raja-raja awal Mataram Islam, termasuk Panembahan Senopati, Panembahan Hanyakrawati (Mas Jolang), dan Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Letaknya yang bersebelahan dengan Masjid Gede Mataram mencerminkan prinsip tata kota Islam klasik di Jawa: alun-alun, masjid agung di barat, keraton di selatan, dan pasar di timur laut.
Nama-nama seperti Kedaton, Alun-alun, dan Pasar Legi masih digunakan hingga kini, menjadi penanda historis dari lanskap kerajaan masa lalu.
Masjid Gede Mataram: Perpaduan Arsitektur dan Toleransi
Dibangun oleh Sultan Agung dan diperluas oleh Pakubuwono X, Masjid Gede Mataram mencerminkan nilai akulturasi tinggi. Gapura depannya menyerupai bentuk bangunan Hindu-Buddha, sementara bagian dalam menampilkan arsitektur joglo khas Jawa.
Masjid ini dibangun secara gotong royong oleh masyarakat dari berbagai latar belakang kepercayaan. Unsur toleransi yang diwariskan Sultan Agung ini masih terasa hingga kini. Bahkan, bedug pemberian Nyai Ringgit dan mimbar klasik dari Palembang menjadi bukti nyata hubungan lintas budaya yang harmonis.
Ziarah dan Adab Tradisional
Mengunjungi kompleks makam para raja tidak bisa dilakukan sembarangan. Pengunjung diwajibkan memakai busana adat Jawa kain jarik, kemben, dan blangkon—sebagai bentuk penghormatan. Ziarah hanya diperbolehkan pada waktu tertentu, yakni Senin pagi dan Jumat siang, sesuai tradisi.
Aturan ini merefleksikan nilai-nilai luhur masyarakat Jawa: ziarah dimaknai layaknya menghadap raja, dan harus dilaksanakan dengan tata krama yang sesuai.
Warisan Bersama Dua Keraton
Saat ini, pengelolaan kompleks makam dan Masjid Gede dilakukan bersama oleh Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, mengingat keterkaitannya dengan leluhur mereka. Sinergi dua keraton ini memastikan bahwa situs-situs sejarah tetap terjaga, sekaligus menjadi sumber edukasi budaya dan spiritual bagi generasi muda.
Makna di Balik Situs Bersejarah
Lebih dari sekadar destinasi wisata religi, kawasan Kotagede menjadi ruang pembelajaran penting tentang toleransi, kepemimpinan, dan penghormatan terhadap leluhur. Arsitektur, tradisi, dan sistem sosial yang masih hidup hingga kini adalah warisan tak ternilai yang patut dilestarikan.
Bagi masyarakat Jawa dan bangsa Indonesia secara umum, Kotagede bukan hanya tempat, tetapi cermin perjalanan peradaban yang mengajarkan tentang akar, identitas, dan tanggung jawab untuk menjaga warisan masa lalu.