Jakarta — Sandiwartanews.com – Dalam sebuah dialog panjang bersama host Gita Wirjawan di episode Endgame #245, Purbaya Yudhi Sadewa menyodorkan peta jalan ambisius bagi ekonomi Indonesia: mengejar pertumbuhan hingga 8 persen. Target ini, menurutnya bukan sekadar angka ideal, melainkan sebuah “tugas berat tapi terukur” asalkan kebijakan dilaksanakan dengan integritas, keberanian, dan perhitungan matang.
Mengapa 8 Persen Bukan Sekadar Keinginan
Sebagai Menteri Keuangan yang baru ditunjuk, Purbaya menegaskan bahwa pertumbuhan 5 persen kisaran yang lazim dicapai dalam beberapa tahun terakhir tidak cukup untuk membawa Indonesia ke tingkat kemajuan sejauh yang dibutuhkan generasi muda, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan.
Ia memaparkan bahwa untuk menyerap tenaga kerja formal dan mengurangi ketergantungan pada sektor informal, pertumbuhan harus melampaui 6,5–6,7 persen per tahun. Hanya dengan pertumbuhan tinggi dan stabil menurut Purbaya masyarakat punya peluang nyata menikmati pekerjaan yang layak, bukan pekerjaan rentan dari sektor informal.
Ambisi 8 persen pun bukan angka sembarangan. Sejak dilantik, Purbaya menyatakan bahwa target tersebut menjadi mandat serius dari pemerintahan dan menurutnya, dengan desain kebijakan tepat, target “tidak mustahil” untuk ditembus dalam 2–3 tahun mendatang.
Pilar Kebijakan: Dari Likuiditas ke Investasi dari Pajak ke Infrastruktur
Dalam dialog di Endgame, Purbaya menyentuh banyak aspek kebijakan dari stabilitas moneter hingga pembangunan jangka panjang. Menurut catatan diskusi, beberapa elemen penting antara lain: fokus pada sirkulasi uang (money circulation), peningkatan penanaman modal asing (FDI), pengoptimalan penerimaan pajak, desentralisasi ekonomi, hingga program elektrifikasi dan investasi infrastruktur.
Langkah nyata, misalnya, adalah keputusan pemerintah menempatkan dana sekitar Rp 200 triliun ke perbankan, melalui bank-bank milik negara,untuk mendongkrak likuiditas, mendorong kredit usaha, dan memacu konsumsi maupun investasi.
Selain itu, Purbaya menekankan pentingnya reformasi fiskal: bukan dengan menaikkan tarif pajak, melainkan dengan meningkatkan kepatuhan pajak, memperkuat sistem IT perpajakan, dan menindak pelanggar besar.
Di sektor pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM), ia juga menyinggung bahwa beasiswa, dana riset, dan insentif kepada sektor teknologi / STEM harus diperkuat bukan sekadar alokasi dana besar, tetapi diarahkan ke kualitas dan produktivitas.
Suara Dengkur Versus Realitas Ekonomi: Keniscayaan Diskusi Kritis
Meski penuh optimisme, target 8 persen tak lantas disambut tanpa skeptisisme. Banyak analis menilai bahwa lompatan dari 5–6 persen ke 8 persen sangat besar, menuntut perubahan struktural mendalam, bukan sekadar dorongan likuiditas atau stimulus jangka pendek.
Kekhawatiran utama terletak pada kapasitas pelaksanaan: kualitas birokrasi, disiplin fiskal, dan kesinambungan kebijakan jangka panjang. Jika likuiditas melimpah tanpa didampingi dengan produktivitas riil, misalnya lewat investasi produktif maka risiko inflasi, pemborosan, dan disparitas pertumbuhan regional bisa meningkat.
Terkait hal ini, Purbaya sendiri mengaku bahwa keberhasilan tergantung pada “pendirian dalam berkebijakan” pilihan berani, konsisten, dan tidak ad-hoc. Ia memperingatkan agar pemerintah tidak mudah tergoda kebijakan pragmatis yang menghasilkan efek sesaat tapi merugikan dalam jangka panjang.
Peluang Risiko, dan Apa Artinya Bagi Publik
Jika kebijakan berjalan sesuai peta jalan, target 8 persen akan membawa dampak besar bagi jutaan warga: lapangan kerja formal, peningkatan daya beli, kualitas layanan publik, dan daya saing global. Khususnya generasi muda — melalui akses ke pendidikan, pekerjaan produktif, dan peluang investasi.
Namun, jika gagal mengontrol aspek struktural: disparitas sosial bisa melebar, utang publik bengkak, dan ketergantungan pada konsumsi malah memunculkan ketidakstabilan jangka panjang.
Bagi masyarakat awam, titik kritisnya adalah: apakah negara mampu menjamin bahwa setiap rupiah dari APBN atau stimuli benar-benar dipakai untuk hal produktif, bukan semata “pencitraan” atau proyek jangka pendek tanpa dampak jangka panjang.
Bagi pelaku usaha, target ambisius bisa jadi peluang, asalkan iklim investasi kondusif, regulasi jelas, dan birokrasi dipangkas. Untuk investor asing, janji kemudahan investasi dan stabilitas fiskal bisa menarik, asalkan komitmen pada transparansi, kelangsungan kebijakan, dan rule of law benar-benar dijaga.
Kesimpulan: Waktu Akan Menjawab Tapi Langkah Pertama Sudah Diambil
Purbaya Yudhi Sadewa telah menegaskan: target 8 persen bukan sekadar wacana, melainkan peta jalan ambisius untuk membawa Indonesia ke level yang berbeda. Ia menawarkan kombinasi strategi: likuiditas, investasi, kebijakan fiskal dan pajak, pembangunan SDM, serta desentralisasi dan infrastruktur.
Namun jalan menuju angka itu penuh tantangan: dari kualitas pelaksanaan, konsistensi kebijakan, hingga kemampuan mengendalikan ekspektasi serta dampak sosial-ekonomi.
Bagi publik, kini saatnya menunggu: apakah janji besar itu akan diterjemahkan ke kebijakan konsisten, atau sekadar jadi retorika sementara. Waktu dan transparansi akan menjadi saksi.



