Sandiwartanews.com – HALMAHERA SELATAN, 3 Juli 2025 – Pagi yang seharusnya membawa semangat baru di Desa Kubung, Kecamatan Bacan, Halmahera Selatan, justru menyisakan duka mendalam dan bayang-bayang isolasi. Satu-satunya jembatan penghubung desa yang vital, yang menghubungkan Kubung dengan pusat kota Labuha, ambruk total setelah digulung derasnya aliran sungai pascahujan lebat semalam. Insiden ini tak hanya memutus akses fisik, tetapi juga merenggut harapan ribuan warga yang kini terancam terisolasi dari berbagai sendi kehidupan.
Ambruknya Penopang Kehidupan
Suasana pilu menyelimuti bibir Sungai Kubung pagi ini. Warga berkerumun di tepi sungai, bukan untuk memulai aktivitas harian, melainkan untuk menyaksikan puing-puing jembatan darurat yang selama ini menjadi nadi kehidupan mereka. Batang-batang kelapa dan material seadanya, yang menjadi fondasi jembatan itu, tak mampu lagi menahan amukan alam. Jerit keputusasaan tergambar jelas di wajah-wajah letih yang memandangi sisa-sisa jembatan yang hanyut terbawa arus.
“Setiap hari kami melewati jembatan itu. Anak-anak ke sekolah, petani bawa hasil panen, semua lewat situ. Sekarang sudah tidak bisa lagi dilewati,” tutur Pak Rahman (55), seorang tokoh masyarakat Desa Kubung, dengan suara bergetar. Sejak subuh, ia sudah berada di lokasi, terpaku melihat kehancuran yang tak pernah ia bayangkan. “Ini bukan sekadar jembatan, ini jalur kehidupan kami. Bagaimana anak-anak bisa sekolah? Bagaimana kami bisa menjual hasil kebun?” keluhnya, matanya menerawang jauh ke seberang sungai yang kini tampak begitu memisahkan.
Jembatan yang ambruk ini memang bukan bangunan permanen. Sejak lama, kondisinya telah menjadi keluhan utama masyarakat. Setiap musim hujan tiba, rasa cemas selalu menghantui. Ancaman putusnya akses selalu menjadi momok, namun tak ada langkah konkret yang diambil untuk memperbaiki atau membangun jembatan yang layak. Masyarakat terpaksa bertaruh nyawa setiap kali melintasinya. Berbagai upaya swadaya pernah dilakukan, mulai dari memperkuat dengan bambu hingga menambah ikatan tali, namun semua itu hanya solusi sementara yang tak berdaya di hadapan kekuatan alam.
Suara yang Tak Digubris: Alarm dari Aliansi Garda Kubung
Situasi kritis ini sebenarnya bukanlah hal baru. Bertahun-tahun, Aliansi Garda Kubung, sebuah organisasi yang mewakili aspirasi masyarakat desa, telah berulang kali menyuarakan kondisi memprihatinkan jembatan ini. Melalui berbagai audiensi, surat terbuka, hingga aksi damai, mereka telah mencoba mengetuk pintu hati para pemangku kebijakan. Namun, suara mereka seolah tenggelam dalam riuhnya birokrasi, tak pernah mendapat respons yang memadai.
“Kami sudah bersuara berkali-kali, menggedor kantor sana sini. Kami laporkan kondisi jembatan yang sudah retak, lapuk, dan membahayakan,” tegas Ringgo Larengsi, Ketua Aliansi Garda Kubung, dengan nada penuh kekecewaan. “Tapi apa yang terjadi? Mereka hanya berjanji, menunda, dan akhirnya jembatan ini ambruk. Ini menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah daerah terhadap pembangunan infrastruktur dasar di wilayah terpencil seperti kami. Apakah harus ada korban jiwa dulu baru mereka bergerak?” kritiknya, tak bisa menyembunyikan amarah.
Lambatnya respons dari pihak berwenang menjadi sorotan tajam. Masyarakat merasa dianaktirikan, seolah keberadaan mereka di pelosok tidak sepenting daerah lain yang lebih mudah dijangkau. Aliansi Garda Kubung menuntut pertanggungjawaban dan tindakan nyata, bukan sekadar janji manis yang tak pernah terealisasi. Mereka menekankan bahwa infrastruktur dasar seperti jembatan adalah hak fundamental masyarakat, penunjang utama roda perekonomian dan kehidupan sosial.
Ancaman Isolasi dan Dampak Berantai
Ambruknya jembatan ini bukan hanya sekadar hambatan kecil. Bagi Desa Kubung, ini adalah pukulan telak yang mengancam isolasi total. Jembatan tersebut adalah satu-satunya akses utama bagi masyarakat menuju kota Labuha, pusat segala aktivitas.
“Tanpa jembatan ini, kami terputus. Anak-anak tidak bisa ke sekolah di Labuha. Pasien yang sakit parah bagaimana dibawa ke rumah sakit? Hasil panen kami tidak bisa dijual ke pasar. Urusan administrasi kependudukan juga akan terhambat,” jelas Ibu Siti Aminah (48), seorang guru sekolah dasar yang khawatir akan masa depan anak didiknya. Desa Kubung adalah salah satu sentra pertanian penting di Bacan, menghasilkan cengkeh, pala, dan hasil kebun lainnya. Terputusnya akses berarti lumpuhnya ekonomi warga.
Dampak berantai dari putusnya jembatan ini bisa sangat luas. Aktivitas perekonomian desa dipastikan terganggu dalam waktu yang tidak sebentar. Distribusi kebutuhan pokok dan barang penting lainnya dari kota juga akan terhambat. Harga-harga bisa melambung karena sulitnya akses, membebani masyarakat yang sebagian besar hidup dari pertanian subsisten. Lebih jauh lagi, akses terhadap layanan kesehatan darurat dan pendidikan juga menjadi taruhan, menempatkan nyawa dan masa depan generasi muda di ujung tanduk.
Harapan yang Menggantung pada Tangan Pemerintah
Kini, seluruh mata masyarakat Desa Kubung tertuju pada pemerintah daerah dan instansi terkait. Harapan besar digantungkan agar ada tindakan cepat dan konkret. Masyarakat tidak hanya membutuhkan perbaikan, tetapi pembangunan jembatan yang kuat, permanen, dan aman, yang bisa bertahan dari gempuran alam dan menjadi simbol komitmen pemerintah terhadap kesejahteraan rakyatnya.
“Masyarakat tidak butuh janji lagi. Kami butuh jembatan yang kuat, yang bisa kami lalui tanpa takut jatuh atau hanyut,” tegas Ringgo Larengsi, mewakili suara hati ribuan warga. “Pemerintah harus segera bertindak. Kami berharap ada perhatian serius untuk membangun kembali jembatan ini secepatnya. Jika tidak segera ditangani, warga akan semakin terisolasi dan roda ekonomi desa bisa terganggu dalam waktu yang tidak sebentar,” pungkasnya, menyuarakan desakan yang sama dari seluruh warga Kubung.
Peristiwa ini menjadi pengingat keras bagi pemerintah daerah akan pentingnya pemerataan pembangunan infrastruktur, terutama di wilayah-wilayah terpencil. Desa Kubung bukan hanya angka dalam statistik, mereka adalah manusia dengan kebutuhan dan hak yang sama. Kini, ujian sesungguhnya bagi pemerintah adalah sejauh mana mereka mampu mendengar jeritan masyarakat dan merespons dengan solusi nyata, demi membangun kembali jembatan, bukan hanya secara fisik, tetapi juga jembatan kepercayaan yang telah lama terkikis.
Akankah pemerintah segera mengulurkan tangan dan membangun kembali harapan yang runtuh bersama jembatan di Desa Kubung? Waktu dan tindakan nyata akan menjadi jawabannya.