sandiwartanews.com – Aceh, provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia, dikenal luas sebagai Serambi Mekkah. Julukan ini bukan sekadar simbol keagamaan, melainkan representasi dari identitas sejarah, budaya, dan sistem hukum yang unik. Aceh adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang secara resmi menerapkan syariat Islam dalam kehidupan masyarakatnya.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Keistimewaan Aceh secara formal diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, lahir dari kesepakatan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada Agustus 2005.

Kesepakatan ini menjadi titik balik dari konflik berkepanjangan selama hampir 30 tahun. Poin-poin utama dalam perjanjian damai meliputi penghentian permusuhan, pemberian otonomi khusus, pengakuan partai lokal, hingga hak menjalankan hukum Islam secara formal.

Pemerintah Aceh memiliki kewenangan untuk menyusun Qanun, atau peraturan daerah berbasis hukum Islam. Qanun ini mengatur berbagai aspek sosial seperti tata cara berpakaian, interaksi laki-laki dan perempuan, hingga larangan konsumsi alkohol dan perjudian. Pelanggaran terhadap syariat dapat dikenai sanksi berupa denda hingga hukuman cambuk, yang dijalankan sesuai prosedur hukum melalui Mahkamah Syariah.

Mahkamah Syariah sendiri merupakan lembaga peradilan khusus di Aceh yang berwenang menangani perkara-perkara tertentu berdasarkan hukum Islam. Lembaga ini beroperasi sejajar dengan pengadilan negeri dalam sistem peradilan nasional.

Status istimewa Aceh tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang perjuangan rakyatnya. Sebelum bergabung dalam Republik Indonesia, Aceh adalah kerajaan Islam besar bernama Kesultanan Aceh Darussalam yang berjaya pada abad ke-16 hingga ke-17 di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.

Setelah kemerdekaan Indonesia, rakyat Aceh sempat merasa dikhianati ketika wilayahnya digabungkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara tanpa musyawarah yang memadai. Hal ini memicu ketegangan yang berujung pada konflik bersenjata. Kesepakatan damai Helsinki menjadi jawaban atas pergolakan yang berlangsung puluhan tahun dan membuka lembaran baru bagi Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Proses perdamaian tidak lepas dari peran kedua belah pihak, yaitu Pemerintah Indonesia dan GAM, serta dukungan internasional, terutama Pemerintah Finlandia. Pascadamai, pembangunan Aceh melibatkan pemerintah pusat, Pemerintah Aceh, serta partisipasi masyarakat sipil dan lembaga donor internasional.

Pasca-penandatanganan perjanjian damai pada 2005, UU Pemerintahan Aceh disahkan pada tahun 2006. Sejak saat itu, berbagai kebijakan otonomi mulai diterapkan, termasuk penerbitan Qanun, pembentukan partai politik lokal seperti Partai Aceh, serta pengelolaan sumber daya alam secara lebih mandiri.

Keistimewaan Aceh tampak dalam berbagai sektor, mulai dari hukum, politik, hingga simbol daerah. Aceh memiliki bendera, lambang, dan lagu daerah sendiri. Pemerintah Aceh juga mengelola dana otonomi khusus dengan nominal yang signifikan, digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Selain itu, masyarakat Aceh memiliki hak untuk membentuk partai politik lokal, suatu hak yang tidak diberikan pada provinsi lain.

Meski mengalami kemajuan, Aceh masih menghadapi tantangan. Tingkat kemiskinan masih relatif tinggi, dan pengelolaan dana otonomi khusus belum sepenuhnya optimal. Kasus korupsi, ketimpangan, serta terbatasnya investasi menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Namun, bagi banyak warga, keistimewaan Aceh adalah warisan yang harus dijaga. Bukan hanya karena status hukumnya, tetapi karena ia tumbuh dari akar perjuangan dan keinginan untuk hidup damai dan bermartabat.

Aceh adalah cermin dari bagaimana sejarah, keyakinan, dan politik bisa berpadu membentuk satu wajah Indonesia yang kaya dan beragam. Keistimewaan yang dimiliki provinsi ini bukan hadiah, melainkan hasil dari perjuangan panjang, dialog terbuka, dan komitmen bersama dalam menjaga perdamaian.

Sebagai bagian dari Indonesia, Aceh menunjukkan bahwa keberagaman bukan penghalang, melainkan kekuatan dalam membangun negeri.