sandiwartanews.com – Jakarta – Transformasi digital telah membawa banyak kemudahan dalam kehidupan masyarakat. Dari belanja, komunikasi, hingga transportasi semuanya kini bisa dilakukan dalam satu sentuhan layar. Namun di balik kemudahan itu, terdapat kisah getir para pengemudi ojek online (ojol) yang menjalani kehidupan penuh ketidakpastian dan minim perlindungan.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Pengemudi ojol seperti Dewi Anggraini, seorang perempuan tangguh berusia 53 tahun dengan sembilan cucu, menjadi potret nyata dari jutaan pengemudi lain yang tergabung sebagai mitra aplikator. Sejak 2015, Dewi setia menggunakan satu aplikasi saja tanpa berpindah ke layanan lain. Di balik tawa dan cerita tentang tip dari pelanggan, tersimpan cerita perjuangan malam hari yang berbahaya, dari begal hingga cuaca ekstrem.

Doc. Dewi Anggraini, salah satu keluarga pengemudi ojek online, tak kuasa menahan air mata saat menceritakan beratnya beban hidup dan ketidakpastian penghasilan suaminya yang bergantung pada aplikasi digital. (Foto Dokumentasi: NR)
Doc. Dewi Anggraini, salah satu keluarga pengemudi ojek online, tak kuasa menahan air mata saat menceritakan beratnya beban hidup dan ketidakpastian penghasilan suaminya yang bergantung pada aplikasi digital. (Foto Dokumentasi: NR)

Meski disebut mitra, realita yang terjadi menunjukkan ketimpangan relasi kuasa antara pengemudi dan aplikator. Ketentuan dan layanan yang ditetapkan sepihak oleh aplikator yang jumlahnya bisa mencapai 150 halaman harus disetujui pengemudi tanpa ruang negosiasi. Bahkan pihak aplikator menyatakan dapat mengubah aturan kapan saja tanpa pemberitahuan. Jika pengemudi tidak setuju, satu-satunya pilihan adalah keluar dari kemitraan.

Padahal, menurut Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Tahun 2019, penentuan biaya jasa oleh aplikator harus dibahas bersama pemangku kepentingan. Namun, dalam praktiknya, tidak ada keterlibatan langsung dari pengemudi dalam merumuskan skema bagi hasil.

Ketimpangan ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, dan semakin nyata ketika investigasi dilakukan sepanjang Agustus 2024 di wilayah Jabodetabek. Dalam pengambilan sampel terhadap 774 rute pengantaran dari 20 pengemudi ojol, ditemukan potongan komisi aplikasi yang mencapai 37%, jauh dari batas maksimal 15% sebagaimana diatur dalam Permenhub No. 12 Tahun 2022.

Ketidakseimbangan ini terjadi karena tidak adanya kebijakan tegas yang mengatur skema kemitraan secara adil dan transparan. Sifat kontrak sepihak tanpa negosiasi, serta lemahnya pengawasan dari pemerintah, menjadikan pengemudi ojol rentan terhadap eksploitasi. Lebih parah lagi, tidak semua aplikator menerapkan ketentuan batas maksimal komisi 15% secara konsisten.

Protes demi protes dilakukan para pengemudi. Aksi unjuk rasa pun kembali digelar untuk mendesak perhatian dari pemerintah dan aplikator. Para pengemudi menuntut kejelasan bagi hasil yang transparan, hak untuk menggunakan lebih dari satu aplikasi, dan jaminan perlindungan sosial. Seruan solidaritas digaungkan kembali, sebagaimana janji-janji yang pernah dilontarkan oleh pejabat publik saat kampanye pemilu.

Sayangnya, hingga kini belum terlihat langkah konkret dari pemerintah dalam mengawasi atau mengevaluasi ulang sistem kemitraan tersebut.

Lebih dari sekadar layanan antar, profesi pengemudi ojol adalah penghidupan bagi jutaan keluarga. Narasi Dewi Anggraini adalah satu dari banyak kisah yang menanti keadilan di tengah derasnya arus ekonomi digital. Jika mitra adalah kesetaraan, maka saatnya regulasi ditegakkan dan suara pengemudi benar-benar didengar.