OPINI | Redaksi, Sandiwartanews.com – Bayangkan jika suatu pagi Indonesia terbangun tanpa polisi. Tidak ada petugas yang mengatur lalu lintas, tidak ada patroli malam, tidak ada aparat yang menjaga keamanan pasar, sekolah, rumah ibadah, dan ruang publik. Bayangan itu bukan sekadar imajinasi, melainkan potret negara tanpa penyangga ketertiban. Hukum akan kehilangan daya paksa, kejahatan menemukan ruang, dan rasa aman perlahan menghilang dari kehidupan sehari-hari.
Di tengah derasnya kritik terhadap kepolisian, wacana emosional kerap muncul: seolah negara ini bisa berjalan tanpa polisi. Pernyataan semacam itu mungkin lahir dari kemarahan publik akibat ulah segelintir oknum, tetapi jika dipikirkan secara jernih, gagasan tersebut justru berbahaya. Negara tanpa polisi bukan negara ideal, melainkan negara yang rapuh dan rawan kekacauan.
Penting untuk memisahkan dua hal yang kerap dicampuradukkan: institusi dan oknum. Polisi sebagai institusi negara dibentuk oleh konstitusi dan undang-undang untuk menjaga keamanan dan menegakkan hukum. Sementara oknum adalah individu yang menyalahgunakan kewenangan dan mencederai kepercayaan publik. Menyamakan keduanya bukan hanya tidak adil, tetapi juga merusak nalar publik.
Tidak bisa dipungkiri, ulah oknum berseragam memang ada dan nyata. Kasus penyalahgunaan wewenang, kekerasan, hingga pelanggaran hukum oleh aparat menjadi luka yang melukai rasa keadilan masyarakat. Kritik terhadap hal ini sah, bahkan wajib dalam negara demokrasi. Namun kritik yang sehat harus diarahkan pada perilaku, bukan membakar seluruh bangunan institusi.
Jika polisi benar-benar tidak ada, siapa yang pertama kali datang ketika terjadi kejahatan? Siapa yang mengamankan korban, mengumpulkan bukti, dan mencegah konflik meluas? Tanpa polisi, hukum hanya akan menjadi teks tanpa makna. Yang kuat akan berkuasa, sementara yang lemah kehilangan perlindungan.
Namun peran polisi tidak berhenti pada penegakan hukum semata. Di banyak wilayah Indonesia, terutama saat bencana melanda, kehadiran polisi justru menjadi penopang utama kemanusiaan. Aceh dan sejumlah daerah di Sumatra menyimpan banyak catatan tentang bagaimana polisi hadir di tengah krisis, jauh dari sorotan, tanpa panggung.
Ketika banjir bandang, gempa bumi, tanah longsor, dan bencana alam lainnya menerjang Aceh, polisi sering menjadi unsur pertama yang tiba di lokasi. Mereka menembus medan berat, membantu evakuasi warga, menggendong anak-anak dan lansia, serta memastikan korban selamat mendapatkan pertolongan. Dalam kondisi serba terbatas, aparat kepolisian bekerja tanpa banyak bicara, mengutamakan nyawa manusia di atas segalanya.
Selain evakuasi, peran polisi terlihat nyata dalam penyaluran logistik. Dari pengamanan jalur bantuan, distribusi bahan pangan, hingga pendirian posko darurat, polisi bekerja bersama TNI, relawan, dan masyarakat. Di wilayah terisolasi, kendaraan polisi kerap menjadi satu-satunya sarana untuk menjangkau korban. Peran ini jarang viral, tetapi dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat terdampak bencana.
Tidak hanya itu, polisi juga berperan menjaga ketertiban di pengungsian, mencegah penjarahan, serta membantu pemulihan sosial pascabencana. Mereka hadir memastikan rasa aman tetap ada di tengah situasi traumatis. Fakta ini menunjukkan bahwa wajah kepolisian tidak tunggal. Ada sisi kemanusiaan yang sering luput dari perhatian publik.
Sayangnya, narasi publik lebih sering dikuasai oleh berita buruk. Satu kesalahan oknum dapat menutupi ribuan tindakan baik yang dilakukan dalam diam. Padahal, mayoritas polisi bekerja sesuai aturan, menjalankan tugas dengan integritas, dan berusaha melayani masyarakat sebaik mungkin. Mereka juga bagian dari rakyat yang hidup di bawah sistem yang sama.
Mengkritik kepolisian bukan berarti meniadakan peran dan jasanya. Justru kritik harus menjadi alat untuk memperbaiki, bukan meruntuhkan. Institusi yang kuat adalah institusi yang berani membersihkan dirinya dari oknum yang menyimpang. Penegakan hukum internal yang tegas, transparan, dan adil adalah kunci mengembalikan kepercayaan publik.
Masyarakat memiliki hak untuk mengawasi dan mengkritik aparat negara. Namun pada saat yang sama, masyarakat juga memiliki tanggung jawab moral untuk bersikap adil. Menghapus peran polisi dari imajinasi kebangsaan hanya akan membawa kita pada kekacauan yang lebih besar.
Bayangkan kembali jika tidak ada polisi: siapa yang menjaga keamanan saat bencana, siapa yang mengatur evakuasi, siapa yang memastikan bantuan sampai dengan aman? Di situlah kita sadar, betapa pentingnya keberadaan institusi ini.
Indonesia tidak membutuhkan polisi yang kebal kritik. Indonesia membutuhkan polisi yang profesional, bersih, dan humanis. Oknum yang merusak marwah institusi harus ditindak tanpa kompromi. Namun institusi kepolisian sebagai pilar negara harus dijaga, diperbaiki, dan diperkuat.
Negara yang dewasa bukan negara yang menghapus aparatnya karena marah, melainkan negara yang berani membenahi aparatnya demi keadilan dan kemanusiaan. Dari Aceh hingga pelosok negeri, polisi masih dan akan terus dibutuhkan selama hukum dan kemanusiaan ingin tetap hidup.




