Seribu Janji di Panggung Pencalonan: Ketika Etika Dikorbankan Demi Kekuasaan
Sandiwartanews.com – Setiap kali momentum pencalonan tiba, ruang publik nyaris selalu dipenuhi oleh satu pola yang berulang: obral janji politik. Janji disampaikan dengan suara lantang, bahasa bombastis, dan klaim seolah semua persoalan rakyat dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Fenomena ini tidak lagi sekadar menjadi strategi kampanye, melainkan telah menjelma sebagai budaya politik yang problematik dan patut dikritisi secara serius.
Masalah utama dari “seribu janji saat mau mencalonkan” bukan semata pada jumlahnya, tetapi pada ketiadaan tanggung jawab etis di balik janji tersebut. Janji sering kali diucapkan tanpa penjelasan yang memadai mengenai dasar hukum, kemampuan anggaran, maupun mekanisme pelaksanaan. Dalam konteks demokrasi, kondisi ini berbahaya karena berpotensi menyesatkan publik dan merusak kualitas partisipasi politik masyarakat.
Janji politik seharusnya lahir dari perencanaan yang rasional dan pemahaman yang utuh terhadap kewenangan jabatan. Namun yang kerap terjadi justru sebaliknya: janji disusun untuk memikat emosi pemilih, bukan untuk menjawab persoalan struktural. Rakyat disuguhi harapan instan, sementara realitas birokrasi dan keterbatasan sumber daya sengaja diabaikan. Di sinilah batas etika mulai dilanggar.
Lebih memprihatinkan, janji kerap diarahkan kepada kelompok masyarakat yang paling rentan secara ekonomi dan sosial. Mereka dijadikan sasaran utama narasi populis, seolah masa depan mereka sepenuhnya bergantung pada kemenangan satu figur. Ketika janji semacam ini disampaikan tanpa dasar yang jelas, maka ia bukan lagi harapan, melainkan bentuk eksploitasi kepercayaan publik.
Dalam prinsip etika demokrasi, kejujuran adalah fondasi utama kepemimpinan. Seorang calon pemimpin dituntut untuk jujur tidak hanya kepada publik, tetapi juga kepada dirinya sendiri: jujur atas kemampuan, jujur atas keterbatasan, dan jujur atas risiko kebijakan. Janji yang tidak realistis sejak awal adalah bentuk ketidakjujuran politik, meskipun dibungkus dengan niat yang terdengar mulia.
Ironisnya, banyak pihak justru menganggap kritik terhadap janji kampanye sebagai ancaman. Padahal, kritik adalah bagian tak terpisahkan dari demokrasi. Pemimpin yang sejak masa pencalonan sudah alergi terhadap kritik patut dipertanyakan komitmennya terhadap transparansi dan akuntabilitas. Janji tentang keterbukaan akan kehilangan makna jika tidak disertai sikap terbuka terhadap pengawasan publik.
Di sinilah peran pers dan ruang opini menjadi sangat penting. Media memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk tidak sekadar mengutip janji, tetapi juga menguji kelayakan janji tersebut. Kode Etik Jurnalistik dengan tegas menempatkan pers sebagai pengawal kepentingan publik, bukan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Opini kritis justru diperlukan agar publik tidak terjebak dalam euforia pencalonan yang dangkal.
Namun demikian, kritik juga harus disampaikan secara beradab dan bertanggung jawab. Opini yang keras bukan berarti menghina, memfitnah, atau menyerang pribadi. Kritik yang sehat adalah kritik yang berbasis argumentasi, logika, dan kepentingan publik. Dalam konteks ini, mengingatkan bahaya janji politik yang berlebihan justru merupakan bentuk tanggung jawab moral kepada demokrasi.
Masyarakat pun tidak bisa terus-menerus memposisikan diri sebagai korban. Kedewasaan politik menuntut pemilih untuk lebih kritis dan rasional. Janji harus diuji, bukan ditelan mentah-mentah. Rekam jejak, konsistensi sikap, dan keberanian mengambil keputusan di masa lalu jauh lebih penting daripada pidato manis di atas panggung kampanye. Demokrasi akan stagnan jika pemilih terus memaafkan kebohongan yang dibungkus janji.
Perlu ditegaskan bahwa membatasi janji bukan berarti mematikan harapan. Justru sebaliknya, harapan yang dibangun di atas kejujuran akan jauh lebih kuat dan berkelanjutan. Calon pemimpin yang berani berkata “ini yang bisa kami lakukan, dan ini yang belum mampu kami lakukan” layak mendapatkan kepercayaan lebih besar dibanding mereka yang menjanjikan segalanya tanpa kepastian.
Pada akhirnya, pencalonan adalah ujian integritas. Seribu janji yang diumbar tanpa tanggung jawab hanya akan melahirkan kekecewaan kolektif dan memperlebar jurang ketidakpercayaan publik terhadap politik. Kekuasaan bukan panggung sandiwara, melainkan amanah yang menuntut konsistensi antara ucapan dan tindakan.
Rakyat tidak membutuhkan pemimpin yang pandai berjanji, tetapi pemimpin yang berani bertanggung jawab. Jika sejak awal janji sudah menjadi alat manipulasi, maka jangan heran jika setelah kekuasaan diraih, kepercayaan publik runtuh. Demokrasi yang bermartabat hanya bisa ditegakkan oleh kejujuran, bukan oleh seribu janji yang menguap ditelan waktu.




