Sandiwartanews.com — Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh (WUS) kembali berada di garis depan perhatian publik. Setelah resmi beroperasi pada 2023, proyek yang sejak awal dipromosikan sebagai simbol lompatan teknologi dan modernisasi transportasi Indonesia itu justru menimbulkan perdebatan baru tentang pembiayaan, keberlanjutan komersial, serta tanggung jawab fiskal di balik utang jangka panjangnya.

Meskipun hadir membawa efisiensi waktu tempuh antar kota besar, perjalanan panjang proyek ini menyisakan pertanyaan fundamental: apakah ambisi ini benar-benar sepadan dengan risiko dan konsekuensinya bagi negara?

Ambisi Konektivitas dan Keputusan Politik Tahun 2015

Gagasan pembangunan kereta cepat muncul dari kebutuhan memperbaiki konektivitas Jakarta–Bandung yang selama puluhan tahun hanya bergantung pada jalan tol dan kereta konvensional. Dengan mobilitas dan aktivitas ekonomi yang semakin padat, waktu tempuh tiga jam dinilai tidak lagi memadai.

Pada Oktober 2015, pemerintah secara resmi menunjuk konsorsium Tiongkok sebagai mitra pembangunan. Keputusan itu mengejutkan banyak pihak karena sebelumnya Jepang dianggap menjadi kandidat terkuat melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) yang bahkan telah menuntaskan studi kelayakan sosial dan lingkungan.

Alasan pemerintah memilih Tiongkok antara lain karena:

1. Penawaran pembangunan lebih cepat,

2. Pendanaan tanpa jaminan APBN

3. Teknologi yang diklaim dapat memenuhi standar kecepatan tinggi.

Meski demikian, keputusan tersebut menjadi salah satu titik awal perdebatan publik hingga hari ini, terutama setelah aspek pembiayaan dan kenaikan biaya mulai terlihat beberapa tahun kemudian.

Pembangunan yang Menghadapi Berlapis Tantangan

Groundbreaking proyek dilakukan pada 21 Januari 2016. Rutenya membentang sepanjang 142,3 kilometer, menghubungkan Stasiun Halim (Jakarta) hingga Tegalluar (Bandung), melintasi Karawang dan Padalarang.

Namun pembangunan tidak berjalan mulus. Sejumlah faktor menyebabkan progres yang semula ditargetkan rampung pada 2019 justru molor hingga bertahun-tahun, di antaranya:

1. Pembebasan Lahan yang Rumit

Proses pengadaan lahan memakan waktu panjang, terutama karena melibatkan tanah milik warga hingga aset milik instansi pertahanan. Negosiasi, verifikasi kepemilikan, hingga relokasi menyita energi besar dan menunda pembangunan konstruksi utama.

2. Kondisi Geologi Jawa Barat

Wilayah yang dilalui jalur kereta memiliki kontur tanah kompleks. Banyak area yang mengharuskan pembangunan terowongan dan jembatan panjang. Tercatat lebih dari 40 jembatan besar dibangun, termasuk yang melintasi Sungai Citarum, sehingga membutuhkan tingkat kehati-hatian tinggi.

3. Pandemi Covid-19

Puncak pandemi memperparah keterlambatan: material impor tersendat, pekerja berkurang, dan kebijakan pembatasan mobilitas menghambat aktivitas konstruksi.

4. Penyesuaian Desain dan Kenaikan Biaya

Perubahan desain yang dianggap penting untuk keamanan dan adaptasi lapangan ikut memicu kenaikan biaya proyek.

Akibat rangkaian hambatan itu, pada akhir 2020 progres proyek baru mencapai sekitar 64 persen. Proyek ini kembali menjadi sorotan setelah biayanya tak lagi sesuai angka awal.

Akhirnya Beroperasi: Lompatan Mobilitas Atau Sekadar Gimmick?

Setelah melalui serangkaian uji coba, Kereta Cepat Whoosh resmi beroperasi pada 2 Oktober 2023. Kereta mampu melaju hingga 350 km/jam, menjadikannya transportasi tercepat di Asia Tenggara.

Dalam enam bulan pertama:

±2,5 juta penumpang tercatat menggunakan layanan,

Waktu tempuh Jakarta–Bandung hanya sekitar 40–45 menit,

Konektivitas kawasan industri dan pariwisata meningkat signifikan.

Banyak penumpang memuji kenyamanan, kecepatan, dan kualitas layanan. Namun di sisi lain, sejumlah analis menyoroti bahwa jumlah penumpang masih fluktuatif dan belum stabil untuk menjamin keuntungan jangka panjang.

Studi kelayakan awal disebut-sebut terlalu optimistis dalam memprediksi minat masyarakat berpindah dari moda transportasi lain seperti mobil pribadi, bus, atau kereta konvensional.

Pembiayaan: Bagian Paling Sensitif dan Menjadi Akar Kontroversi

Bagian yang paling krusial dari proyek ini terletak pada mekanisme pembiayaannya.

Biaya awal yang diproyeksikan sebesar 5,5 miliar dolar AS membengkak menjadi sekitar 7,3 miliar dolar AS. Kenaikan ini berasal dari:

penyesuaian rute dan desain,

kebutuhan pembangunan tambahan,

inflasi biaya material dan tenaga kerja,

serta mundurnya jadwal pengerjaan.

Pendanaan proyek mengandalkan:

1. Pinjaman dari China Development Bank (CDB),

2. Suntikan modal dari konsorsium PT KCIC — gabungan empat BUMN Indonesia dan China Railway.

 

Komposisi kepemilikan PT KCIC adalah:

  • 60% Indonesia.
  • 40% China Railway.

Isu besar muncul karena sebagian masyarakat menilai struktur pembiayaan tidak sepenuhnya murni business to business (B2B). Ada kekhawatiran bahwa jika performa bisnis tidak sesuai target, maka beban fiskal pada akhirnya berpotensi menimpa negara.

Sementara itu, pihak pemerintah berkali-kali menegaskan bahwa proyek ini tidak menggunakan APBN. Namun perkembangan terbaru justru membuat publik semakin ingin mengetahui detail perjanjian utang.

Pernyataan Menkeu dan Pertanyaan Publik yang Belum Terjawab

Pada Oktober 2025, Menteri Keuangan Purbawaya Yudi Sadewa mengeluarkan pernyataan penting dalam sebuah kesempatan resmi. Ia menegaskan bahwa:

“Pemerintah tidak akan menggunakan APBN untuk membayar utang proyek Whoosh.”

Pemerintah juga mengonfirmasi adanya negosiasi ulang tenor pinjaman hingga 60 tahun, sebuah langkah yang dinilai dapat mengurangi tekanan pembayaran jangka pendek.

Namun, publik tetap merasa penjelasan pemerintah belum cukup menjawab beberapa pertanyaan mendasar:

1. Seperti apa struktur lengkap utang Whoosh?

2. Apa saja klausul perjanjian antara CDB dan PT KCIC?

3. Siapa penanggung jawab terakhir jika terjadi gagal bayar?

4. Apakah BUMN yang terlibat memiliki kapasitas finansial cukup untuk menanggung risiko tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan ini semakin penting karena proyek ini masuk kategori strategis nasional dan dianggap memiliki implikasi terhadap kredibilitas pengelolaan fiskal Indonesia.

Dampak Sosial Ekonomi: Dua Sisi Mata Uang

Di luar kontroversi, proyek kereta cepat membawa sejumlah dampak positif di wilayah sekitar:

1. Peningkatan aktivitas ekonomi kawasan

Pertumbuhan usaha baru terlihat di sekitar stasiun Padalarang dan Tegalluar. Kafe, hotel, pusat kuliner, dan transportasi lanjutan mulai tumbuh.

2. Lonjakan nilai lahan

Area sekitar stasiun mengalami kenaikan harga tanah yang signifikan. Investasi properti mulai mengalir.

3. Mobilitas lebih cepat

Waktu tempuh antar kota besar berkurang drastis, mendukung pergerakan pekerja, pelajar, dan wisatawan.

Namun, dampak negatif juga masih dirasakan sebagian masyarakat:

Sejumlah warga terdampak mengaku masih menunggu penyelesaian kompensasi lahan,

Risiko ketergantungan pada pembiayaan asing menjadi kekhawatiran para ekonom,

Ketidakpastian pendapatan jangka panjang berpotensi menimbulkan risiko fiskal terselubung.

Dengan demikian, proyek ini menampakkan dua wajah: satu sisi menjadi motor pertumbuhan, sisi lain menjadi potensi beban.

Mengapa Transparansi Sangat Penting dalam Proyek Seperti WUS?

Sebagai proyek infrastruktur terbesar dalam sejarah kemitraan Indonesia–Tiongkok, Whoosh menjadi contoh penting untuk mengukur:

kemampuan tata kelola negara,

komitmen terhadap akuntabilitas,

efektivitas perencanaan jangka panjang,

serta kesiapan menghadapi risiko fiskal dan komersial.

Transparansi diperlukan agar publik bisa memastikan apakah proyek ini memberikan manfaat yang sebanding dengan biaya dan utang jangka panjangnya.

Penutup: Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

Kini, pertanyaan besar yang muncul di tengah masyarakat adalah:

Jika pendapatan operasi tidak mencukupi, siapa yang akhirnya menanggung beban utang Whoosh?

Pemerintah?

Konsorsium BUMN?

Atau pihak swasta sesuai kontrak awal?

Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan apakah proyek Whoosh menjadi catatan sukses pembangunan atau justru menjadi preseden baru terkait risiko proyek infrastruktur mega skala.